Selasa, 09 April 2013

PERILAKU KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM



PERILAKU KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM


A.   Kebutuhan Fitrah Manusia sebagai Dasar Ekonomi Islami

Manusia adalah makhluk multi dimensional, di dalam diri manusia terdapat aspek-aspek yang menggerakkan manusia bertindak dan membutuhkan sesuatu. Beberapa aspek tersebut biasanya memberikan dasar pijakan bagi pengembangan sesuatu.

Manusia itu terdiri dari unsur jasmani dan rohani yang dilengkapi dengan akal dan hati. Unsur – unsur manusia itu memiliki kebutuhannya masing-masing. Guna mempertahankan hidupnya manusia perlu makan, minum dan perlindungan. Seperti dalam al-Qur’an surat al-A’raaf : 31

* ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä (#räè{ ö/ä3tGt^ƒÎ yZÏã Èe@ä. 7Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uŽõ°$#ur Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä tûüÏùÎŽô£ßJø9$# ÇÌÊÈ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Tetapi manusia bukanlah semata-mata terdiri dari tubuh saja, sehingga semua persoalan tidak dapat dengan hokum-hukum fisik semata. Manusia juga adalah makhluk biologis, karena itu juga tunduk pada hukum-hukum biologis. Guna melestarikan keturunannya manusia mempunyai alat reproduksi dalam dirinya yang ditandai oleh kecendrungan berupa seks dan berkembang biak. Sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an surat Ali Imran : 14

z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).







Manusia juga memiliki akal yang membutuhkan sarana berupa ilmu pengetahuan dan kemampuan untuk memikirkan berbagai rahasia dari ciptaan Allah yang ada di langit dan dibumi. Sebagai makhluk rasional sifat akal selalu menuntut kepuasan. Dari sudut pandang ini maka ilmu pengetahuan adalah merupakan tuntutan kebutuhannya. Seperti yang tercantum dalam al-Qur’an surat Ali Imran :189

¬!ur ہù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÊÑÒÈ
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu.

Manusia juga makhluk sosial yang didorong oleh watak aslinya untuk bergaul dengan manusia lainnya. Keinginan alamiah untuk menjalin hubungan permanent antara pria dan wanita, ketergantungan anak manusia akan perlindungan orang tuanya, keinginan manusia untuk membela kepentingan keturunannya dan mempertahankan kasih sayang antara saudara sedarah, kesemuanya itu merupakan kecenderungan alami yang mengarahkan mereka dalam membangun kehidupan sosialnya.

Agar manusia selalu terdorong untuk berusaha memenuhi kebutuhannya, Allah menghiasi pula dengan nafsu dan keinginan, baik untuk memperoleh kesenangan biologis maupun kesenangan lainnya seperti kecintaan kepada harta yang banyak, dari jenis emas dan perak , binatang ternak dan sawah ladang.

Nafsulah yang merupakan motivator bagi manusia untuk selalu berusaha memenuhi keinginannya tersebut. Guna memenuhi keinginannya itu, sang nafsu lalu meminta bantuan akal untuk mencari cara yang paling cepat dan mudah untuk mendapatkannya. Akal akan menawarkan berbagai alternative, sesuai dengan kapasitasnya. Kualitas akal ini akan tergantung pada pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, sedangkan tawaran alternative metode yang disarankan oleh akal tersebut bisa bersifat rasional atau irrasional.

Manusia juga merupakan makhluk moral spiritual, yang mampu membedakan antara kebaikan dan kejahatan, memiliki dorongan bawaan untuk mencapai realitas di luar pengertian akal. Fungsi dari moral spiritual ini diperankan oleh hati. Dalam hal ini, hati berfungsi memberikan pertimbangan kepada nafsu, apakah jenis kebutuhan yang diinginkannya itu halal atau haram, bermanfaat ataukah membahayakan dirinya, jumlah kebutuhan yang diinginkannya itu wajar ataukah berlebihan dan cara mendapatkannya itu layak ataukah tidak untuk diperturutkan dan dilaksanakan.


Kualitas dari pertimbagan hati itu akan tergantung kepada system nilai yang dianutnya dan intensitasnya mengingat Illahi yang diimaninya. Apabila hati beriman kepada Allah dan selalu mengingat-Nya dengan intensitas yang tinggi, maka nilai pertimbangannya pun semakin baik sesuai dengan norma-norma etika yang telah ditetapkan oleh Allah.

Akumulasi interaksi antara nafsu, akal dan hati inilah yang akan menentukan kualitas nilai diri manusia tersebut. Diri yang simbang hanya akan memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan fitrahnya saja, yaitu kebutuhan yang dihalalkan oleh Allah SWT.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa manusia yang terdiri dari keseluruhan sifat-sifat tersebut ( fisik, biologis, intelektual, spiritual dan sosiologis) memiliki kebutuhan masing-masing yang dipadukan bersama-sama. Keseimbangan pemenuhan kebutuhan masing-masing unsur tersebut akan sangat bergantung kepada lemah kuatnya dorongan nafsu dan kualitas pengendalian yang diperani oleh akal dan hati. Akal dan hati yang berkualitas pasti akan membatasi konsumsinya sebatas kebutuhan fitrahnya. Konsumsi yang melebihi kebutuhan fitrah adalah kebutuhan palsu, yang justru akan merusak dirinya.


B.   Teori perilaku konsumsi konvensional

Perilaku konsumen timbul akibat adanya kendala keterbatasan pendapatan di satu sisi dan adanya keinginan untuk mengkonsumsi barang dan jasa sebanyak-banyaknya agar diperoleh kepuasan maksimal. Teori tingkah laku konsumen dapat dibedakan dalam dua macam pendekatan yaitu pendekatan nilai guna (utility) cardinal dan pendekatan nilai guna ordinal.

a. Pendekatan nilai guna (utility) kardinal.

Pendekatan nilai guna kardinal dianggap manfaat atau kenikmatan yang diperoleh seorang konsumen dapat dinyatakan secara kuantitatif, konsumen akan memaksimumkan kepuasan yang dapat dicapainya. Kalau kepuasan itu semakin tinggi maka makin tinggilah nilai gunanya atau utilitinya.

Nilai guna dibedakan dengan dua pengertian yaitu nilai guna total dan nilai guna marginal. Nilai guna total dapat diartikan sebagai jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh dari mengkonsumsi sejumlah barang tertentu. Sedangkan nilai guna marginal berarti penambahan (atau pengurangan ) kepuasan sebagai akibat dan pertambahan (atau pengurangan) penggunaan satu unit barang.

Hipotesa utama teori nilai guna atau lebih dikenal sebagai hukum nilai guna marginal yang semakin menurun, menyatakan bahwa tambahan nilai guna yang akan diperoleh seseorang dari mengkonsumsikan suatu barang akan menjadi semakin sedikit apabila orang tersebut terus menerus menambah konsumsinya ke atas barang tersebut. Pada akhirnya tambahan nilai guna akan menjadi negative yaitu apabila konsumsi ke atas barang tersebut ditambah satu unit lagi maka nilai guna total akan menjadi semakin sedikit.

Asumsi dari pendekatan ini adalah :

  • Konsumen rasional. Konsumen bertujuan memaksimalkan kepuasannya dengan batasan pendapatannya.
  • Diminishing Marginal Utility artinya tambahan utilitas yang diperoleh konsumen makin menurun dengan bertambahnya konsumsi dari komoditas tersebut.
  • Pendapatan konsumen tetap.
  • Constant Marginal Utility of Money artinya uang mempunyai nilai subjektif yang tetap.

Setiap orang akan berusaha untuk memaksimumkan nilai guna dari barang-barang yang dikonsumsikannya. Apabila yang dikonsumsikannya hanya satu barang saja, tidak sukar untuk menentukan pada tingkat mana nilai guna dari menikmati barang itu akan mencapai tingkat yang maksimum. Tingkat itu dicapai pada waktu nilai guna total mencapai tingkat maksimum. Tetapi kalau barang yang digunakan adalah berbagai-bagai jenisnya, cara untuk menentukan corak konsumsi barang-barang yang akan menciptakan nilai guna yang maksimum menjadi lebih rumit.

Dalam keadaaan dimana harga-harga berbagai baranng adalah berbeda syarat yang harus dipenuhi agar barang-barang yang dikonsumsikan akan memberikan nilai guna yang maksimum adalah setiap rupiah yang dikeluarkan untuk membeli unit tambahan berbagai jenis barang akan memberikan nilai guna marginal yang sama besarnya.

Walaupun teori ini telah berhasil menyusun formulasi fungsi permintaan secara baik tetapi pendekatan ini masih dianggap mempunyai beberapa kelemahan. Kelemahan dan kritik terhadap pendekatan ini adalah :

Ø  Sifat subjektif dari daya guna dan tidak adanya alat ukur yang tepat dan sesuai, maksudnya asumsi dasar bahwa kepuasan konsumen dapat diukur dengan satuan rupiah atau util penerapannya akan sulit dilakukan. Di samping itu nilai dari daya guna suatu barang sangat bergantung pada penilainya, sehingga akan sulit untuk membuat generalisasi dari analisis seseorang atau sekelompok orang.

Ø  Constant Marginal Utility of money. Biasanya makin banyak seseorang memiliki uang maka penilaian terhadap satuan uang itu makin rendah. Oleh sebab itu nilai uang yang tetap masih diragukan .

Ø  Diminishing marginal utility sangat sulit diterima sebagai aksioma sebab penilaiannya dari segi psikologis yang sangat sukar.



b. Analisis kurva kepuasan sama.( pendekatan ordinal)

Pendekatan ini diperkenalkan oleh J.Hicks dan R.J.Allen. Dalam pendekatan ini daya guna suatu barang tidak perlu diukur, cukup untuk diketahui dan konsumen mampu membuat urutan tinggi rendahnya daya guna yang diperoleh dari mengkonsumsi sekelompok barang.

Pendekatan yang diapakai dalam teori ordinal adalah Indefernce Curve yakni kurva yang menunjukkan kombinasi 2 (dua) macam barang konsumsi yang memberikan tingkat kepuasan yang sama. Asumsi dari pendekatan ini adalah :

  1. Konsumen rasional.

  1. Konsumen mempunyai pola preferensi terhadap barang yang disusun berdasarkan urutan besar kecilnya daya guna.

  1. Konsumen mempunyai sejumlah uang tertentu.

  1. Konsumen selalu berusaha mencapai kepuasan maksimum.

  1. Konsumen konsisten, artinya bila A lebih dipilih daripada B karena A lebih disukai daripada B, dan tidak berlaku sebaliknya B lebih dipilih daripada A;

  1. Berlaku hokum transitif, artinya bila A lebih disukai daripada B, dan B lebih disukai daripada C maka A lebih disukai daripada C.

Dasar pemikiran dari pendekatan ini adalah semakin banyak barang yang dikonsumsi semakin memberikan kepuasan terhadap konsumen. Pilihan konsumen tersebut banyak sekali, sehingga dapat dibangun indefernce curve yang tidak terhingga banyaknya. Titik kepuasan konsumen yang paling tinggi adalah titik T (bliss point) yang menggambarkan bahwa konsumen telah mengkonsumsi jumlah barang X dan Y tidak terhingga.

Indefernce Curve mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

ü  Turun dari kiri atas ke kanan bawah. Implikasinya apabila konsumen ingin menambah konsumsi barang X harus mengurang barang Y apabila kepuasannya yang diperoleh tetap sama. Jadi, antar barang harus terjadi trade off atau saling meniadakan.
ü  Cembung kearah titik origin. Ini disebabkan kesediaan konsumen untuk melepaskan satu satuan barang X untuk mendapatkan satu satuan barang Y dengan tingkat kepuasan yang sama.
ü  Tidak saling berpotongan.
ü  Kurva tersebut menunjukkan kombinasi barang yang dikonsumsi lebih banyak sehingga memberikan kepuasan yang lebih tinggi dan lebih disukai oleh konsumen rasional.

Walaupun metode ini juga telah menghasilkan kurva permintaan yang cukup sederhana, ternyata juga masih banyak mengandung kelemahan. Kritik terhadap pendekatan ordinal antara lain sebagai berikut :

1. Adanya asumsi convexity dari indeference curve masih diragukan.

2. Rasionality dari konsumen dalam membuat ranking atau order dari kepuasan atau daya guna yang diperoleh juga masih dipertanyakan.

3. Tidak menganalisis efek adanya advertising, perilaku masa lampau, persediaan perilaku konsumsi yang irrasional yang nantinya akan menambah efek yang ditimbulkan permasalahan yang irrasional ini sangat penting bagi para pembuat keputusan, misalnya dalam penentuan harga dan output dari produsen.

4. Merupakan pengembangan dari teori perilaku konsumen cardinal dengan mengganti asumsi yang sangat lemah.



  1. Teori konsumsi dalam perspektif ekonomi Islam.

  1. Konsep Islam tentang kebutuhan.

Kebutuhan adalah senilai dengan keinginan. Di mana keinginan ditentukan oleh konsep kepuasan. Dalam perspektif Islam kebutuhan ditentukan oleh konsep maslahah.

Teori ekonomi konvensional menjabarkan kepuasan seperti memiliki barang dan jasa untuk memuaskan keinginan manusia. Kepuasan ditentukan secara subyektif. Tiap-tiap orang memiliki atau mencapai kepuasannya menurut ukuran atau kriterianya sendiri. Suatu aktivitas ekonomi untuk menghasilkan sesuatu adalah didorong karena adanya kegunaan dalam suatu barang. Jika sesuatu itu dapat memenuhi kebutuhan maka manusia akan melakukan usaha untuk mengkonsumsi sesuatu itu.

Menurut Syatibi, maslahah adalah pemilikan atau kekuatan barang dan jasa yang mengandung elemen-elemen dasar dan tujuan kehidupan umat manusia di dunia ini . Syatibi membedakan maslahah menjadi tiga yaitu : kebutuhan (daruriyah), pelengkap ( hajiyah), perbaikan (tahsiniyah).

Daruriyah , yaitu sesuatu yang wajib adanya yang menjadi pokok kebutuhan hidup untuk menegakkan kemaslahatan manusia. Hal-hal yang bersifat darury bagi manusia dalam pengertian ini berpagkal pada memelihara lima hal yaitu : agama, jiwa , akal, kehormatan, dan harta. Dalam hal ini Qardhawi menambahkan satu hal daarury yaitu anak atau keturunan . Jadi memelihara satu dari lima hal itu merupakan kepentingan yang bersifat primer bagi manusia.


Hajiyah, ialah suatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat ringan, lapang dan nyaman dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan kehidupan. Faktor eksternal dalam hal ini berpangkal pada tujuan menghilangkan kesulitan dan beban hidup sehingga memudahkan mereka dalam merealisasikan tata cara pergaulan, perubahan zaman dan menempuh kehidupan.

Tahsiniyah ialah sesuatu yang diperlukan oleh norma atau tatanan hidup serta berperilaku menurut jalan yang lurus. Hal yang bersifat tahsiniyah berpangkal dari tradisi yang baik dan segala tujuan peri kehidupan manusia menurut jalan yang paling baik.

Jadi semua barang dan jasa yang memiliki kekuatan untuk memenuhi lima elemen pokok telah dapat dikatakan memiliki maslahah bagi umat manusia.

Beberapa keunggulan konsep maslahah adalah sebagai berikut :

Ø  Maslahah adalah obyektif karena bertolak dari pemenuhan need. Karena need ditentukan berdasarkan pertimbangan rasional normative dan positif, maka akan terdapat suatu criteria yang obyektif tentang apakah sesuatu benda ekonomi memiliki maslahah atau tidak. Sementara dalam utilitas orang mendasarkan pada criteria yang bersifat subyektif, karenanya dapat berbeda di antara orang yang satu dengan yang lain.

Ø  Maslahah individual akan terisi dengan maslahah social dan tidak seperti kepuasan individual yang seringkali akan menimbulkan konflik kepuasan social.

Ø  Konsep maslahah ditekankan pada semua aktivitas ekonomi dalam suatu masyarakat. Tidak seperti pada teori konvensional dimana kepuasan hanya berkaitan dengan masalah konsumsi dan keuntungan bersinggungan dengan masalah produksi.

Ø  Dalam hal ini tidak mungkin membandingkan kepuasan yang diperoleh orang A pada saat mengkonsumsi suatu makanan yang baik dengan kepuasan yang didapat oleh orang B yang mengkonsumsi barang yang sama dalam waktu yang sama.

  1. Preferensi Konsumsi yang Islami.

Dalam ekonomi konvensional , pada dasarnya satu jenis benda ekonomi merupakan substitusi sempurna bagi benda ekonomi lainnya sepanjang memberikan utilitas yang sama sepanjang utilitasnya maksimum. Tidak ada benda ekonomi yang lebih berharga daripada benda ekonomi lainnya, yang membedakan adalah tingkat kepuasan diperoleh akibat mengkonsumsi benda tersebut. Karenanya, benda yang memberikan utilitas lebih tinggi akan menjadi lebih berharga dibandingkan yang memberikan utilitas yang rendah.

Dalam perspektif Islam, antara benda ekonomi yang satu dengan lainnya bukan merupakan substitusi yang sempurna. Terdapat benda ekonomi yang lebih berharga dan bernilai sehingga akan diutamakan dibandingkan pilihan konsumsi lainnya. Sebaliknya terdapat benda ekonomi yang kurang/ tidak bernilai, bahkan terlarang, sehingga akan dijauhi. Selain itu juga terdapat prioritas-prioritas dalam pemenuhannya berdasarkan tingkat kemaslahatan yang dibutuhkan untuk menunjang kehidupan yang Islami. Dengan demikian, preferensi konsumsi dan pemenuhannya akan memiliki pola sebagai berikut :

  1. Mengutamakan akhirat daripada dunia.

Pada tataran paling dasar, seorang muslim akan dihadapkan pada pilihan di antara mengkonsumsi benda ekonomi yang bersifat duniawi belaka (Cw) dan yang bersifat ibadah (Ci). Konsumsi untuk ibadah bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi untuk duniawi sehingga keduanya bukan merupakan substitusi sempurna. Konsumsi untuk ibadah bernilai lebih tinggi karena orientasinya kepada falah yang akan mendapatkan pahala dari Allah, sehingga lebih berorientasi kepada kehidupan akhirat kelak.

Konsumsi untuk ibadah pada hakekatnya adalah konsumsi untuk masa depan, sementara konsumsi duniawi adalah konsumsi untuk masa sekarang. Semakin besar konsumsi untuk ibadah maka semakin tinggi pula falah yang dicapai , demikianpula sebaliknya. Semakin besar konsumsi duniawi maka semakin rendah falah yang dicapainya. Hubungan antara falah dengan kedua jenis konsumsi ini dapat dilihat dalam gambar berikut ini :

ü  Terdapat hubungan positif antara pencapaian tujuan falah dengan kebutuhan konsumsi ibadah. Semakin tinggi tujuan falah yang ingin dicapai semakin dituntut untuk memperbesar konsumsi kebutuhan ibadah.
ü  Terdapat hubungan negative antara pencapaian tujuan falah dengan kebutuhan konsumsi duniawi. Semakin tinggi tujuan falah yang ingin dicapai, semakin dituntut untuk mengurangi konsumsi kebutuhan duniawi.



Seorang muslim yang rasional, yaitu orang yang beriman,semestinya akan mengalokasikan anggaran lebih banyak dalam konsumsi untuk ibadah dibandingkan dengan konsumsi duniawi karena tujuan maksimasi falah. Dengan pencapaian tujuan falah yang tinggi maka akan memperoleh utilitas yang lebih bernilai dibandingkan dengan utilitas dunia. Semakain tidak rasional, maka seseorang akan semakin kufur karena alokasi anggarannya sebagian besar hanya untuk kepentingan dunia saja daripada akhirat.

Allah membolehkan hambaaNya menikmati kekayaan dunia sebagai wujud syukur kepadaNya dan sekaligus sebagai sarana untuk ibadah. Apabila anggaran seseorang sangat kecil sehingga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum sehingga terpaksa tidak terdapat alokasi konsumsi untuk ibadah. Di bawah ini terlihat hubungan antara keimanan dengan pola budget line :

ü  Semakin rasional (beriman) seorang muslim maka budget linenya akan semakin condong vertikan (inelastis)
ü  Semakin tidak rasional (kufur) seorang muslim maka budget linenya akan semakin condong harisontal (elastis).

  1. Konsisten dalam Prioritas Pemenuhannya.

Seorang muslim harus mengalokasikan anggarannya secara urut sesuai dengann tingkatan prioritasnya secara konsisten. Kebutuhan pada tingkat daruriyah harus dipenuhi terlebih dahulu, baru kemudian hajiyah dan terakhir tahsiniyah. Konsumsi setelah prioritas-prioritas ini dapat diperkenankan sepanjang tidak dilarang oleh syariah Islam. Prioritas ini semestinya diterapkan pada semua jenis kebutuhannya, yaitu kehidupan, harta, kebenaran, ilmu pengetahuan dan kelangsungan keturunan.

  1. Memperhatikan etika dan norma.

Syariah Islam memiliki seperangkat etika dan norma yang harus dipegang manakala seseorang berkonsumsi. Beberapa etika menurut M.A. Manan adalah :

v  Prinsip Keadilan

Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor aturan atau hokum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi.

v  Prinsip Kebersihan

Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saj benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau bahkan merusak.

v  Prinsip Kesederhanaan

Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial.


v  Prinsip Kemurahan hati.

Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahanNya. Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah memberikan anugrahNya bagi manusia.

v  Prinsip Moralitas.

Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata memenuhi segala kebutuhan.

Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberaa norma dasar yang menjadi landasan dalam berprilaku konsumsi seorang muslim antara lain :

ü  Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.

ü  Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan , ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi digunakan bagi kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan memanfaatkannya adalah diwajibkan.
ü  Tidak melakukan kemubadziran.

ü  Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf). Sebagaimana seorang muslim tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan membelanjakannya untuk hal yang haram. Beberapa sikap yang harus diperhatikan adalah :
ü  Menjauhi berutang.

ü  Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluarannya. Jadi sberutang sangat tidak dianjurkan, kecuali untuk keadaan yang sangat terpaksa.

  1. Menjaga asset yang mapan dan pokok.

Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak belanjanya dengan cara menjual asset-aset yang mapan dan pokok, misalnya tempat tinggal. Nabi mengingatkan, jika terpaksa menjual asset maka hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli asset lain agar berkahnya tetap terjaga.





  1. Tidak hidup mewah dan boros.

Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam kenikmatan dan bermegah-megahan sangat ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini selain akan merusak pribadi-pribadi manusia juga akan merusak tatanan masyarakat. Kemewahan dan pemborosan akan menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi nafsu birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali melupakan norma dan etika agama karenanya menjauhkan diri dari Allah. Kemegahan akan merusak masyarakat karena biasanya terdapat golongan minoritas kaya yang menindas mayoritas miskin.

  1. Kesederhanaan.

Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan pada saat krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap sederhana yang dilakukan untuk menjaga kemaslahatan masyarakat luas.

PENUTUP

Dengan melihat tujuan utama berkonsumsi sertametode alokasi preferensi konsumsi dan anggaran maka dapat disimpulkan bahwa penggerak awal kegiatan konsumsi dalam ekonomi konvensional adalah adanya keinginan (want) . Seseorang berkonsumsi karena ingin memenuhi keinginannya sehingga dapat mencapai kepuasan yang maksimal.

Islam menolak perilaku manusia untuk selalu memenhi segala keinginannya, karena pada dasarnya manusia memiliki kecendrungan terhadap keinginan yang baik dan keinginan yang buruk sekaligus. Keinginan manusia didorong oleh suatu kekuatan dari dalam diri manusia yang bersifat pribadi dan karenanya seringkali berbeda dari satu orang dengan orang lain. Keinginan seringkali tidak selalu sejalan dengan rasionalitas, karenanya berifat tidak terbatas dalam kuantitas dan kualitasnya. Kekuatan dari dalam diri disebut jiwa atau hawa nafsu yang memang menjadi penggerak utama seluruh perilaku manusia. Dalam ajaran Islam manusia harus mengendalikan dan mengarahkan keinginannya sehingga dapat membawa kemanfaatan dan bukan kerugian bagi kehidupan dunia dan akhirat.

Keinginan yang sudah dikendalikan dan diarahkan sehingga membawa kemanfaatan ini dapat disebut dengan kebutuhan. Kebutuhan lahir dari suatu pemikiran secara obyektif atas berbagai sarana yang diperlukan untuk mendapatkan suatu manfaat bagi kehidupan. Kebutuhan dituntun oleh rasionalitas normative dan positif yaitu rasionalitas ajaran Islam sehingga bersifat terbatas dan terukur dalam kuantitas dan kualitasnya.Hal ini meruapakan dasar dan tujuan dari syariah Islam yaitu maslahat al ibad ( kesejahteraan hakiki bagi manusia) dan sekaligus sebagai cara untuk mendapatkan falah yang maksimum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar