Selasa, 09 April 2013

Ushul Fiqh "Dilalah"



BAB I
PENDAHULUAN

Arti dilalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu. Kata “sesuatu” yang disebutkan pertama disebut “madlul” yaitu yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri.
Kata sesuatu yang kedua kalinya disebut “dalil” yaitu yang meliputi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.[1]
Pembahasan dilalah ini begitu penting dalam ilmu ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berfikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berfikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berfikir secara dilalah.
BAB II
PEMBAHASAN

DILALAH MENURUT ULAMA HANAFIYAH

Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah.[2]
A.                Dilalah Lafzhiyah
Dilalah lafzhiyah yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata.[3] Dilalah lafzhiyah terbagi kepada 4 macam yang berbeda tingkatan kekuatannya.
1.                  Dilalah Ibarah
Dilalah ibarah yaitu makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz, baik dalam bentuk nash maupun zahir.
Contoh :
Firman Allah yang berbunyi :
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.[4]

2.                  Dilalah Isyarah
Dilalah isyarah ialah suatu pengertian yang ditangkap dari suatu lafaz, sebagai kesimpulan dari pemahaman terhadap suatu ungkapan (ibarat) dan bukan dari ungkapan itu sendiri.[5]
Contoh :
Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) : 187
Artinya :
“Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. [6]

Contoh lainnya dalam surat an-Nisa ayat 3 :
Artinya :
“Kemudian apabila kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja”.[7]

3.                  Dilalah al-Dilalah atau Dilalah Nash
Dilalah nash adalah penunjukkan oleh lafaz yang tersurat terhadap apa yang tersirat dibalik lafaz itu. Hukum yang terdapat dalam suatu lafaz yang tersurat, berlaku pula pada apa yang tersirat dibalik lafaz itu, karena diantara keduanya terdapat hubungan.[8]
Dilalah al-Dilalah itu terbagi dua :
x               Hukum yang akan diberlakukan kepada kejadian yang tidak disebutkan dalam nash, keadaannya lebih kuat dibandingkan dengan kejadian yang ada dalam nash.
Contoh :
Firman Allah dalam surat al-Isra’ (17) : 23
Artinya :
“Janganlah kamu ucapkan kepada dua orang ibu bapakmu ucapan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya”.
x               Hukum yang akan diberlakukan pada kejadian yang tidak disebutkan dalam nash, keadaannya sama dengan kejadian yang ada dalam nashnya.
Contoh :
Firman Allah dalam surat an-Nisa (4) : 10
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya”.


4.                  Dilalah al-Iqtidha
Dilalah al-Iqtidha yaitu penunjukkan (dilalah) lafaz terhadap sesuatu, dimana pengertian lafaz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya sesuatu tersebut.
Contoh :
Firman Allah dalam surat Yusuf (12) : 82
Artinya :
“tanyailah kampung tempat kita berada, dan kafilah kita bertemu dengannya".[9]
Menurut zhahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaimana mungkin bertanya kepada “kampung” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu memunculkan suatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan ialah “penduduk” sebelum kata “kampung”, sehingga menjadi “penduduk kampung” yang dapat ditanya dan memberi jawaban.

Ditinjau dari segi keharusan mentakdirkan suatu lafaz yang terbuang, para ulama Ushul FIqh membagi dilalah al-Iqtidha menjadi tiga macam :
a.                  Dilalah al-Iqtidha yang harus mentakdirkan lafaz yang terbuang, lantaran suatu nash tidak dapat dipahami dengan benar menurut syara’ kecuali dengan mentakdirkan lafaz yang terbuang.
Contoh :
ﻻ ﺻﻴﺎﻢ ﻟﻤﻦ ﻠﻢ ﻴﺒﺖ ﺍ ﻟﻨﻴﺔ
Artinya :
“Tidak sah puasa seseorang yang tidak berniat pada waktu malam”.
b.                  Dilalah al-Iqtidha yang harus mentakdirkan lafaz yang terbuang, lantaran suatu nash tidak dapat dipahami secara sah menurut akal, kecuali dengan mentakdirkan lafaz yang terbuang.
Contoh :
Firman Allah yang berbunyi dalam surat al-Alaq ayat 17 :
Artinya :
“Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)”.

c.                  Dilalah al-Iqtidha yang harus mentakdirkan lafaz yang terbuang, lantaran suatu nash tidak dapat dipahami secara sah menurut syara’, kecuali dengan mentakdirkan lafaz yang terbuang.
Contoh :
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 178 :
Artinya :
“Hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)”.[10]

Ditinjau dari segi bentuk yang harus ditakdirkan (dimunculkan) untuk kebenaran atau kesahan suatu lafaz secara hukum, dilalah iqtidha dibagi dua :
1.                  Yang ditakdirkan adalah “sebuah kata”. Umpamanya kata “sah” dalam sabda Nabi Muhammad SAW :
ﻻ ﺻﻼﺓ ﻟﻤﻦ ﻟﻢ ﻳﻘﺮﺃ ﻔﻳﮭﺎ ﺑﻔﺎ ﺗﺤﺔ ﺍ ﻟﮑﺗﺎ ﺏ.
Artinya :
“Tiada shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-fatihah dalam shalat”.
2.                  Yang ditakdirkan adalah suatu peristiwa hukum. Umpamanya si A mengatakan kepada si B, “wakafkanlah kebunmu itu untuk (atas nama) saya dengan bayaran 10 Juta Rupiah.”[11]

B.                 Dilalah Ghairu Lafzhiyah
Dilalah ghairu lafzhiyah yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz, dan bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya” sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu.[12]
Menurut Ulama Hanafi, dilalah ghairu lafzhiyah ada empat macam :
1.                  Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan.
Contohnya Firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 11
Artinya:
“Untuk dua orang ibu bapak masing-masing mendapat seperenam bila pewaris meninggalkan anak. Bila ia tidak meninggalkan anak sedangkan yang mewarisinya adalah ibu bapaknya, maka untuk ibunya adalah sepertiga”.
2.                  Dilalah (penunjukkan) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan.
Contoh:
“Seseorang yang diberi tugas untuk memberikan penjelasan atas sesuatu, namun ia dalam keadaan tertentu diam saja memberikan petunjuk atas sesuatu. Begitu pula seseorang yang diberi tugas untuk melarang suatu perbuatan tapi suatu ketika ia menyaksikan perbuatan yang dilarang itu dilakukan orang, namun ia diam saja. Diamnya itu memberi petunjuk atas suatu hukum”.
3.                  Menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindarkan penipuan.
Contoh:
“Seorang wali (orang yang melindungi anak dibawah umur) bersikap diam pada saat orang yang berada dibawah perwaliannya melakukan tindakan yang bertalian dengan hartanya, seperti jual beli. Orang yang berada dibawah perwaliannya itu baru sah tindakannya bila secara jelas diijinkan oleh walinya, tidak hanya diam semata.”
4.                  Dilalah sukut (penunjukkan diam) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang terbilang) namun telah bisa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan.[13]
Contoh:
“Dalam tata bahasa Arab bila seorang berkata “seratus dan satu gantang beras”, dalam pemakaian bahasa Arab yang lengkap mestinya dijelaskan dengan ucapan “seratus gantang dan satu gantang” untuk maksud bilangan “101 gantang”. Namun telah terbiasa membuang kata “gantang” yang pertama dalam rangka menghindarkan panjangnya ucapan”.

BAB III
KESIMPULAN

Arti dilalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu. Kata “sesuatu” yang disebutkan pertama disebut “madlul” yaitu yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri.
Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah.
Dilalah lafzhiyah yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dilalah lafzhiyah terbagi kepada 4 macam yang berbeda tingkatan kekuatannya.
Dilalah ghairu lafzhiyah yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz, dan bukan pula dalam bentuk kata.

DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Abu Zahrah, Muhammad. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus



[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), hal 126
[2] Ibid,.... hal 129
[3] Ibid,... hal 126
[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), hal 209
[5] Ibid, ..... hal 205
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh...... hal 133
[7] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh....... hal 205
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh...... hal 135
[9] Ibid. .... hal 137
[10] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh....... hal 214
[11] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, ..... hal 140
[12] Ibid...... hal 128
[13] Ibid,.... hal 144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar