Kamis, 07 Maret 2013

hukum acara peradilan islam



BAB I
PENDAHULUAN

Hukum acara atau hukum formal merupakan peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum. Begitu juga dengan peradilan Islam. Peradilan Islam merupakan peraturan yang bersumber dari  peraturan perundang-undangan negara dan juga dari peraturan  syariat Islam.
Hukum acara peradilan Islam merupakan peraturan hukum yang  bersifat mengatur cara orang bertidak di muka hukum, misalnya dalam pengadilan agama. Hukum acara peradilan Islam bersifat  mengatur bagaimana cara pengadilan agama tersebut dapat menyelesaikan suatu perkara dengan  secara adil sehingga  masing-masing orang mendapatkan perlakuan yang adil dan benar di mata hukum dalam  penyelesaian suatu perkara.
Berbicara mengenai hukum acara peradilan Islam, maka sistem pelaksanaan hukum acara tersebut harus sesuai dengan syari’at. Untuk dapat melaksanakan hukum tersebut, maka dibutuhkan asas dan landasan hukumnya. Dengan demikian, asas hukum acara peradilan Islam dapat mengatur tentang pelaksanaan hukum acara agar dapat di temukan suatu putusan hukum  yang  mencerminkan keadilan serta kepastian hukum.



BAB II
PEMBAHASAN

Hukum acara atau hukum formal adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum materil. Hukum acara dapat berfungsi jika ada masalah yang dihadapi individu-individu. Jadi hukum acara itu adalah sebagai alat penegak dari aturan hukum materil yang tidak membebankan kewajiban sosial dalam kehidupan manusia.

A.    Landasan Hukum Acara Peradilan Islam
Landasan hukum acara peradilan Islam adalah dasar atau prinsip yang mengatur tentang berdiri atau berlakunya suatu hukum.
Peradilan Islam hadir bukan hanya sekedar tuntutan dari sekelompok orang, melainkan peradilan Islam hadir sebagai pemenuhan perintah Allah, Tuhan semesta alam. Karenanya, peradilan Islam memiliki landasan yang kuat, yaitu berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin. [1]

1.      Landasan Al Quran
Dalil-dalil yang menunjukkan keharusan adanya peradilan Islam berdasarkan Al-Qur’an adalah sbb:
ߊ¼ãr#y»tƒ $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ ZpxÿÎ=yz Îû ÇÚöF{$# Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ Ÿwur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$# y7¯=ÅÒãŠsù `tã È@Î6y «!$# 4 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbq=ÅÒtƒ `tã È@Î6y «!$# öNßgs9 Ò>#xtã 7ƒÏx© $yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqtƒ É>$|¡Ïtø:$# ÇËÏÈ

Artinya : Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah, (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shaad : 26)
Nabi Daud adalah sebagai pengganti tugasnya Nabi Adam sebagai khalifah Allah. Karena Nabi Daud adalah keturunan dari Nabi Ibrahim, dari Ishaq dan Ya’kub melalui Bani Israil. Nabi Daud yang kedudukannya sebagai khalifah Allah memerintahkan agar Nabi Daud dapat menghukum seseorang dengan cara yang adil dan janganlah memutuskan suatu perkara dengan sesuka hati. Jika seorang penguasa tidak menghukum secara adil, maka putuslah harapan orang banyak yang ingin mendapat perlindungan dari hukum dan kekuasaan dapat menyebabkan orang lupa dari asal-usul kekuasaannya di dapat sehingga dia dapat sewenang-wenang terhadap hukum.

2.      Landasan As Sunnah
Hadist Rasulullah SAW yang menjadi dasar adanya peradilan Islam adalah hadits dari Amru bin ‘Ash. Sesungguhnya ia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
 òÁò¸òY AògøG : ò¾Bò³ òÁú¼òmòË øÉôÎò¼ò§ ó"A Óú¼òu ø"A ò¾ ôÌómòi ò©øÀòm óÉúÃòA óÉôÄò§ ó"A òÏøyòi øx Bò¨»ôA øÅôI ËøjôÀò§ ôÅò§
{ Éμ§ µ°N¿ }. öjôUòC óÉò¼ò¯ òDò^ôa òC  úÁóQ òfòÈòNôU Bò¯ òÁò¸òY AògøGòË øÆAòjôU òC óÉò¼ò¯ òLBòu òC úÁóQ òfòÈòNôU Bò¯ óÁø· BòZ»ôA

Apabila seorang hakim memutus perkara lalu ia berijtihad, kemudian ijtihadnya itu benar, maka baginya mendapat dua pahala, dan apabila hakim menghukum lalu ia berijtihad, kemudian ijtihadnya salah maka baginya mendapat satu pahala.” (HR. Muttafaq ‘Alaih) [2]
Hadis tersebut menjelaskan tentang pahala yang dimiliki oleh hakim yang berlaku adil dan bersungguh-sungguh dalam melakukan ijtihadnya demi mencari kebenaran. Jika ijtihadnya itu benar, ia akan mendapat pahala dua kali lipat dan jika ijitihadnya itu salah, ia hanya mendapat satu pahala dari hasil usahanya dalam berijtihad. Allah selalu menghargai usaha yang dilakukan oleh seseorang muslim.

3.      Landasan Ijma’
Seluruh sahabat Nabi SAW, mereka semua sepakat bahwa peradilan itu adalah “Suatu fardhu yang di kokohkan dan suatu tradisi.”
Peradilan itu adalah suatu kewajiban, yakni kewajiban yang kuat dan berlandaskan dari Al-Qur’an dan Hadis. Sehingga dapat menjadi suatu tradisi atau kebiasaan atau pun adat di dalam suatu masyarakat.

4.      Risalah Al-Qadha
Risalah al-Qadha adalah surat dari Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al-Ash’ari ra. bahwa naskah asas-asas hukum acara ada 10 macam yaitu:
a.       Kedudukan lembaga peradilan.
b.      Memahami kasus persoalan dan memutuskannya.
c.       Samakan pandangan anda kepada kedua belah pihak dan berlaku adillah.
d.      Kewajiban pembuktian.
e.       Lembaga damai.
f.       Penundaan persidangan.
g.      Kebenaran dan keadilan adalah masalah universal.
h.      Kewajiban menggali hukum yang hidup dan melakukan penalaran logis.
i.        Orang Islam haruslah berlaku adil.
j.        Larangan bersidang ketika sedang emosional. [3]

B.     Asas Hukum Acara dan Peradilan Islam
Asas hukum adalah suatu landasan, prinsip, atau dasar yang mengatur tentang pelaksanaan hukum acara agar dapat ditemukan suatu putusan yang mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan manfaat bagi para pihak, serta masyarakat pada umumnya.
Asas-asas hukum acara merupakan pedoman bagi para penegak hukum dalam menerapkan hukum acara. Asas-asas penting dalam hukum acara Islam, antara lain:
1.      Sumber hukum acara adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ kaum muslimin.
Asas ini mengandung pengertian bahwa pelaksanaan hukum acara Islam harus bersumber pada Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma. Kedudukan ketiga sumber ini bertingkat, artinya Al-Qur’an sebagai landasan tertinggi, kemudian As-Sunnah lalu Ijma. Tidak boleh menggunakan ketentuan yang terdapat di dalam As-Sunnah atau pun Ijma’, jika ketentuan tersebut bertentangan dengan nash di dalam Al-Qur’an.

2.      Hakim memiliki kemerdekaan dalam memutuskan perkara.
Asas ini mengandung kemerdekaan dalam memutuskan perkara, bebas dan tidak terpengaruh oleh pihak manapun. Kedudukan hakim sebagai wakil dari Khalifah (kepala negara) tidak menghalanginya untuk menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi antara kepala negara dan orang-orang yang mengadukannya, baik hukum yang diberikan itu menguntungkan kepala negara maupun merugikannya, berdasarkan pada bukti-bukti yang diperoleh. Kemerdekaan hakim dalam memutuskan perkara tetap harus didasarkan pada kaidah-kaidah hukum acara Islam dan hasil dari pembuktian selama proses persidangan dan juga hakim memiliki kebebasan untuk menerapkan dan menetapkan hukum sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku, tanpa ada campur tangan dari penguasa.
Tidak seorang pun berhak memutuskan perkara kecuali seorang penguasa. Karena seorang penguasa dapat mengalahkan seseorang yang bersaksi palsu. Hanya orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang mampu untuk melaksanakan putusannya dan yang boleh memutuskan sebuah perkara.
3.      Pihak yang berperkara adalah sama dalam majelis, pandangan, dan keputusan.
Kedua belah pihak harus diberlakukan sama, di dengar bersama dan tidak memihak. Dalam hukum acara Islam, hakim mendudukan pihak-pihak yang berperkara dengan kedudukan yang sama. Masing-masing pihak berhak atas perlakuan yang sama dan adil, serta masing-masing pihak di beri kesempatan untuk menjelaskan pendapatnya.
Seorang hakim muslim tidak hanya terikat tugas untuk memutuskan perkara dengan adil, tetapi juga menerapkan keadilan pada pihak-pihak yang terlibat selama penyelesaian masalah dengan memperlakukan mereka secara sama. Islam tidak mengizinkan diskriminasi apapun pada orang-orang yang memasukkan perkaranya ke pengadilan, berdasarkan ras dan warna kulit.

4.      Bukti wajib atas penggugat dan penuduh, sedang sumpah wajib atas pihak yang menolak gugatan atau tuduhan.
Bukti dalam hukum acara Islam adalah dasar bagi orang yang mendakwa (menggugat). Adapun sumpah, wajib bagi pihak yang menolak dakwaan atau gugatan. Hal ini di dasarkan pada hadis dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, Rasulullah SAW bersabda:
.øÉôÎò¼ò§ Óò§ôfóÀô»A Óò¼ò§ óÅôÎøÀòÎô»AòË Ïô§úfóÀô»A Óò¼ò§ óÒòÄø÷ÎòJô»òA
Bukti itu wajib bagi orang-orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang tardakwa.”(HR. Abu Daud dan Baihaqqi)
Jika seseorang menuntut orang lain, dia harus memiliki bukti pernyataannya. Jika tidak ada saksi, alat bukti lainnya, maka ia memberikan pembelaan atas gugatan dan tidak ada sistem hukum di dunia ini yang dapat memenangkannya. Tetapi dalam sistem hukum Islam tidak langsung menolak gugatan tersebut bagi orang yang tidak dapat memberikan bukti bagi pernyataannya. [4]
Dalam pengadilan Islam, jika seorang penggugat gagal untuk memberikan bukti, tuntutannya tidak akan ditolak, tetapi tergugat akan diminta untuk mengangkat sumpah bahwa apa yang dikatakan oleh penggugat adalah tidak benar.
Jika tergugat mengangkat sumpah, maka tuntutan si penggugat akan gagal. Jika tergugat menolak bersumpah, maka kewajiban bersumpah akan berpindah ke penggugat dan perkara tersebut akan dimenangkan oleh penggugat jika ia bersumpah akan kebenaran pernyataannya.

5.      Memutus suatu perkara apabila telah jelas(kedudukannya).
Hakim diperbolehkan memutus perkara hanya apabila perkaranya telah jelas, baik dari sisi pembuktian, maupun kedudukan hukumnya. Jika perkara yang di periksanya tidak ada kejelasan atau kebenarannya tidak terungkap, maka hakim diperkenankan untuk menolak gugatan atau dakwaan penggugat (pendakwa)
Hakim yang bisa memutus perkara dengan baik adalah yang memiliki pengetahuan yang luas akan hukum. Dengan mendapatkan pengetahuan tentang sumber hukum Islam melalui Ijtihad dan Qiyas, jika tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

6.      Putusan hakim tidak dapat di batalkan oleh apapun.
Bahwa putusan hakim tidak dapat di batalkan oleh penguasa atau orang lain. Putusan hakim dalam peradilan Islam merupakan putusan tingkat pertama sekaligus tingkat akhir sehingga tidak mengenal istilah banding atau kasasi. Putusan hanya dapat dibatalkan melalui peninjauan kembali atas dasar petunjuk kebenaran. [5]
Seorang hakim dapat membenarkan kesalahan apapun yang dibuatnya dalam pengadilan selama eksekusi keputusan belum dijatuhkan dan putusan hakim dapat dibatalkan jika antara pihak tergugat dan penggugat telah berdamai dan putusan hakim dapat batal jika ada peninjauan kembali sebelum eksekusi putusan pengadilan.
Selain daripada yang enam tersebut di atas, asas-asas dalam hukum acara peradilan Islam yang diberikan Umar bin Khattab kepada Abu Musa yakni:
1.      Kepentingan dan kebutuhan akan lembaga hakim.
2.      Memahami pokok-pokok perselisihan.
3.      Kemampuan seorang hakim untuk menjalankan keputusannya.
4.      Kesamaan antara pihak-pihak yang berselisih.
5.      Beban pembuktian.
6.      Mengadakan usaha perdamaian.
7.      Memperbaiki putusan yang salah.
8.      Pengetahuan akan hukum dan kemampuan untuk menerapkannya pada kasus melalui Ijtihad dan Qiyas.
9.      Penangguhan proses pengadilan.
10.  Kejujuran saksi.
11.  Pembebasan dan dakwaan pada tertuduh.
12.  Kesabaran dan pikiran yang dingin.
13.  Kesetiaan dan kesucian niat sebagai hakim.
14.  Pahala yang dijanjikan untuk hakim yang jujur. [6]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Peradilan Islam hadir sebagai pemenuhan perintah Allah. Karenanya, peradilan Islam memiliki landasan yang kuat,yaitu berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin. Asas hukum adalah suatu landasan yang mengatur tentang pelaksanaan hukum acara agar dapat ditemukan suatu putusan yang mencerminkan keadilan dan kepastian hukum.
Asas-asas hukum acara merupakan pedoman bagi para penegak hukum dalam menerapkan hukum acara. Asas-asas penting dalam hukum acara Islam, antara lain :
1.      Sumber hukum acara adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ kaum muslimin.
2.      Hakim memiliki kemerdekaan dalam memutuskan perkara.
3.      Pihak yang berperkara adalah sama dalam majelis, pandangan,dan keputusan.
4.      Bukti wajib atas penggugat dan penuduh, sedang sumpah wajib atas pihak yang menolak gugatan atau tuduhan.
5.      Memutus suatu perkara apabila telah jelas (kedudukannya).
6.      Putusan hakim tidak dapat di batalkan oleh apapun.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Djamali, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan “Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta: Kencana, 2007.
Asadullah Al Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009.
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2000.






[1] Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 9.
[2] Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 10.
[3] M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Cet. III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 89-94.
[4] Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 11-13.
[5] Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 13.
[6] Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan “Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam, Cet. I, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 91-120.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar