BAB I
PENDAHULUAN
Makalah ini merupakan suatu pembelajaran
bagi mahasiswa agar dapat berupaya dalam meningkatkan pendidikan, khususnya
dalam hasil belajar mahasiswa. Pada makalah ini juga menyajikan materi
pembelajaran yang berguna dengan memahami berbagai pengetahuan yang ada dalam
peradilan Islam, khususnya dalam mengetahui syarat-syarat menjadi hakim.
Penyajian makalah ini sangat berkaitan
dengan pendidikan mahasiswa yaitu dalam upaya seseorang mengetahui syarat
menjadi hakim. Oleh karena itu, makalah ini juga berusaha untuk mengembangkan
pendidikan mahasiswa agar dapat mengetahui materi yang terdapat di dalamnya.
Yang bertujuan untuk memastikan orang yang memegang jabatan itu benar-benar
orang yang berpengetahuan luas, adil, dan bisa dipercaya.
Namun demikian, dalam makalah ini akan
dibahas dan dijelaskan lebih rinci lagi tentang syarat-syarat menjadi hakim
yang ditentukan oleh hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Kadi merupakan unsur yang sangat penting
dalam melaksanakan hukum syara’ dan penadbirannya. Kadi merupakan orang yang
bertanggung jawab sepenuhnya menjaga dan mempertahankan hukum syara’ dalam
rangka menegakkan kebenaran dan keadilan. [1]
Kadi disebut juga dengan hakim. Hakim ialah orang yang ditunjuk penguasa untuk
menyelesaikan masalah gugat-menggugat dan persengketaan. [2]
Oleh karena itu, Islam mensyaratkan dengan ketat seseorang untuk dapat
diangkat sebagai kadi, tujuannya adalah untuk memastikan orang yang memegang
jabatan kadi ini benar-benar orang yang berwibawa, luas pengetahuannya, dan
bisa dipercaya. Agar tujuan ini dapat tercapai, Islam telah menetapkan beberapa
syarat yang wajib dipenuhi dalam mengangkat seorang hakim.
Namun, para pakar Hukum Islam berselisih
pendapat tentang menentukan bilangan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh
seorang kadi. Tetapi, mereka saling melengkapi satu sama lain. Menurut Al-Ramli
ada 10 syarat menjadi hakim dan pendapat ini didasarkan kepada Imam Al-Nawawi,
yaitu Islam, mukallaf, merdeka, laki-laki, mendengar, melihat, berkata-kata,
kemampuan dan mujtahid. Sedangkan Al-Mawardi mensyaratkan 7 ketentuan, yaitu laki-laki,
berakal, merdeka, Islam, adil, sejahtera pendengaran dan penglihatan, dan
menguasai bidang hukum syara’. Jika diteliti maka syarat-syarat yang
dikemukakan oleh kedua pakar ini tidak mempunyai perbedaan dan saling
melengkapi satu sama lain.
Di bawah ini akan dijelaskan tentang
syarat-syarat kadi yang ditentukan oleh Hukum Islam secara lebih rinci, yakni :
1. Beragama Islam
Orang yang diangkat sebagai hakim ini
hendaklah orang yang beragama Islam, sebab semua kasus yang diperiksa adalah
melibatkan orang Islam. Tugas peradilan dalam Islam termasuk dalam wilayah
orang kafir tidak boleh dilaksanakan selain orang Islam sendiri. Hal ini telah
disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat 141.
tûïÏ%©!$# tbqÝÁ/utIt öNä3Î/ bÎ*sù tb%x. öNä3s9 Óx÷Fsù z`ÏiB «!$# (#þqä9$s% óOs9r& `ä3tR öNä3yè¨B bÎ)ur tb%x. tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 Ò=ÅÁtR (#þqä9$s% óOs9r& øÈqóstGó¡tR öNä3øn=tæ Nä3÷èuZôJtRur z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# 4 ª!$$sù ãNä3øts öNà6oY÷t/ tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# 3 `s9ur @yèøgs ª!$# tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸xÎ6y ÇÊÍÊÈ
Artinya
: “(yaitu) orang-orang yang
menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang
mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: “Bukankah
kami (turut berperang) beserta kamu ?” dan jika orang-orang kafir mendapat
keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: “Bukankah kami turut memenangkanmu,
dan membela kamu dari orang-orang mukmin?” Maka Allah akan memberi keputusan di
antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan
kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS.
An-Nisa’ : 141)
Mazhab Hanafi membolehkan mengangkat
seorang hakim yang bukan muslim untuk mengadili orang yang bukan muslim, sebab
keahlian (ahliyah) mengadili berhubungan dengan keahlian menjadi saksi terhadap
kafir dzimmi yang lain. [3]
Muhammad Salam Madkur membenarkan dan
memperbolehkan pengangkatan hakim dari orang yang bukan Islam untuk
mengadili perkara-perkara antara orang Islam. Hal ini didasarkan kepada
kelayakan menjadi saksi di mana non-Islam boleh menjadi saksi bagi orang Islam
(kecuali dalam perkara yang berhubungan dengan kekeluargaan). [4]
Abdul Al-Autwah tidak setuju dengan
pendapat Muhammad Salam Madkur yang membenarkan pengangkatan hakim yang bukan
orang Islam untuk mengadili orang-orang Islam. Autwah mengemukakan bahwa
mengangkat hakim non muslim hanya dalam keadaan darurat saja. [5]
Oleh karena masalah peradilan merupakan
hal yang sangat penting dan menentukan, karena melalui lembaga peradilan hukum
syara’ dapat ditegakkan. Maka syarat hakim dalam lembaga peradilan Islam hendaknya
beragama Islam.
2.
Laki-laki
Menurut Jumhur Ulama di
kalangan mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali, laki-laki merupakan syarat untuk
dapat diangkat menjadi hakim, tidak sah wanita diangkat sebagai hakim. Apabila ada pihak yang mengangkat wanita sebagai hakim, maka putusan yang dijatuhkan itu tidak sah. [6]
Imam Abu Hanifah
menjelaskan bahwa wanita boleh diangkat sebagai hakim untuk memutus
perkara yang menerima persaksian wanita, dan wanita boleh menjadi hakim kecuali
dalam perkara Hudud dan Qishas karena tidak diterima wanita
dalam perkara tersebut. Jika ada penguasa yang mengangkat wanita sebagai hakim,
maka pengangkatannya itu sah tetapi orang yang mengangkatnya menanggung dosa.
Ibnu Jarir Ath-Thabari
mempunyai pendapat tersendiri dan berlainan dengan pendapat jumhur fuqaha
sebagaimana telah diuraikan di atas. Thabari memperbolehkan wanita memeriksa
semua kasus, termasuk Hudud dan Qishas. [7]
3.
Baligh dan Berakal
Yang dimaksud di sini
bukan hanya sekedar dipandang telah mukallaf, tetapi adalah benar-benar seorang
yang sehat pikirannya, cerdas dan bijaksana, agar dapat memecahkan masalah
dalam perkara yang diadilinya. Hukum Islam tidak menetapkan dengan pasti berapa
umur minimal seorang dapat diangkat sebagai hakim. Islam hanya menentukan baligh sebagai syarat minimum
untuk diangkat sebagai hakim. Dengan demikian anak-anak tidak dibenarkan menjadi hakim karena mereka belum dapat
dipertanggung jawabkan pekerjaannya. Pada umumnya para ahli hukum Islam batas
minimal untuk diangkat sebagai hakim adalah berusia minimal 25 tahun.
Menurut Imam Al-Mawardi
kemampuan akal telah disepakati oleh ulama sebagai syarat mutlak bagi seseorang
untuk menduduki jabatan hakim. [8]
Kemampuan akal ini tidak hanya kemampuan akal elementer, tetapi harus mempunyai
pengetahuan yang baik, cerdas, dan jauh dari sifat lalai. Dengan kecerdasannya,
ia dapat menjelaskan apa yang sulit dan menuntaskan apa yang rumit.
4.
Adil
Adil adalah benar dalam
ucapan, dapat dipercaya, menjaga diri dari yang diharamkan, terpelihara dari
perbuatan dosa, jauh dari keraguan, jujur dalam keadaan senang maupun susah dan
mengamalkan serta menjaga kehormatan agama dan dunianya.
Penentuan adil untuk
diangkat sebagai hakim merupakan persyaratan yang sangat menentukan benar
atau tidaknya, sah atau batalnya suatu pelaksanaan hukum. Dalam Al-Qur’an
banyak ayat yang memerintah manusia untuk berlaku adil dalam segala hal,
walaupun pada diri sendiri.
Mazhab Hanafi mengemukakan
bahwa sifat adil bukan merupakan syarat untuk mengangkat seorang hakim,
tetapi merupakan syarat kesempurnaan pengangkatannya saja. Dalam keadaan
tertentu orang fasik bisa diangkat sebagai hakim. Putusan hakim yang fasik adalah sah selama putusan itu tidak
bertentangan dengan hukum-hukum syara’ dan Undang-Undang yang berlaku, walau
ada orang lain yang layak menjadi kadi daripadanya.
Muhammad Salam Madkur
dalam bukunya “Al-Qadha’ fil Islam”, berpendapat bahwa orang fasik termasuk
orang yang boleh diterima kesaksiannya, maka tentu dapat pula diangkat menjadi
hakim.
5.
Mengetahui Pokok Hukum Syara’ dan
Cabang-Cabangnya
Syarat ini dimaksudkan
agar hakim dapat mengetahui hukum-hukum Allah dan sanggup membedakan antara
yang benar (hak) dengan yang salah. Imam Syafi’i berpendapat, wajib seorang
hakim itu orang yang ahli ijtihad (mujtahid). [9]
Menurut pendapat yang
kuat dalam mazhab Hanafi, boleh mengangkat pengikut salah satu mazhab menjadi
hakim, demikian pula menurut satu riwayat dari Imam Malik. Al-Dasuki mengatakan
“inilah pendapat yang lebih sah”.
Melihat beratnya
persyaratan bagi seorang hakim, Imam Al-Ghazali berpendapat : “...karena
mencari seorang hakim yang harus memenuhi persyaratan seorang mujtahid lagi
adil pada masa sekarang ini sulit, maka kita dapat menerima hakim yang diangkat
berpenguasa, walaupun hakim yang diangkat itu bukan orang yang pandai dan
dirinya pun fasik.
6.
Sempurna Panca Indra
Orang yang diangkat
sebagai kadi ini hendaklah orang yang sempurna panca indranya, terutama ia
dapat mendengar dan tidak bisu. Hal ini penting bagi seorang hakim karena
akan memberikan arahan dan menanyakan segala ihwal kepada pihak-pihak yang
berperkara, dan melihat orang-orang yang terlibat dalam perkara tersebut maupun
bukti-bukti serta meminta keterangan pihak yang berperkara dan mengucapkan
putusan yang dijatuhkan.
Imam Al-Mawardi
mengemukakan bahwa seorang hakim hendaknya orang yang bisa melihat dan mendengar. [10]
Dengan penglihatan dan pendengaran yang sempurna itu, ia dapat menetapkan
hak-hak manusia dengan baik, ia dapat juga membedakan antara pihak yang
mengakui dan pihak yang mengingkari, sehingga ia dapat membedakan pihak yang
benar dengan pihak yang salah dan orang yang berbuat benar dengan orang yang
berbuat salah.
Sebagian sahabat Imam
Syafi’i membolehkan orang buta menjadi hakim. Demikian juga menurut satu
riwayat dari Imam Malik. Pendapat tersebut berdasarkan kepada pengangkatan oleh
Rasulullah SAW terhadap Ibnu Ummu Maktum sebagai wakil Rasulullah SAW di kota
Madinah, dipandang bersifat umum yang meliputi masalah peradilan dan Imam
shalat.
7.
Berpengetahuan Luas
Para ahli hukum
dikalangan mazhab Syafi’i, Hambali dan sebagian dikalangan mazhab Hanafi,
mensyaratkan dalam pengangkatan hakim hendaknya berpengetahuan luas dalam
bidang hukum Islam dan kepandaiannya itu harus bertaraf mujtahid. Sehubungan
dengan hal ini, maka tidak sah pengangkatan hakim itu dari kalangan orang yang jahil dan mukalid.
Menurut Imam Al-Mawardi,
orang yang dianggap mengetahui Hukum Islam secara luas adalah :
a.
Menguasai ilmu tentang kitab
Allah SWT dalam kadar yang dengannya ia dapat mengetahui kandungan Hukum-Hukum
dalam Al-Qur’an.
b.
Memiliki pengetahuan ilmu tentang
sunnah Rasulullah SAW yang stabil.
c.
Menguasai pengetahuan tentang
takwil dikalangan salaf.
d.
Memiliki pengetahuan tentang
Qiyas yang tidak dibicarakan di dalam nash.
Apabila syarat-syarat ini
terpenuhi pada seseorang, maka ia tidak sah diangkat sebagai hakim untuk
memutuskan suatu perkara.
Para ahli Hukum Islam
dikalangan mazhab Maliki tidak mensyaratkan pengangkatan hakim harus orang
yang sudah mujtahid. Ketentuan ini adalah sama sebagaimana yang disampaikan
oleh Ibnu Arabi. Lain halnya para ahli hukum mazhab Hanafi dalam hal
pengangkatan hakim, persyaratan keahlian
sampai ke derajat ijtihad itu merupakan sebagian keutamaan pengangkatannya
saja, bukan keharusan yang mutlak. Dan dikalangan mazhab Syafi’i mengatakan
bahwa pengangkatan hakim yang tidak
mempunyai pengetahuan yang lengkap hanya dibolehkan apabila dalam keadaan
darurat saja. [11]
8.
Bukan Budak (Merdeka)
Para pakar hukum Islam dalam berbagai
mazhab sepakat bahwa pengangkatan hakim tidak diperbolehkan
dari kalangan budak secara mutlak. Hal ini disebabkan karena seorang hamba
dianggap tidak mampu untuk memiliki kemampuan diri sendiri. Juga karena
statusnya sebagai budak, maka ia tidak dapat memberikan kesaksian dalam
berbagai kasus, oleh karenanya ia tidak dapat dijadikan sebagai hakim. Jika ia
sudah merdeka, ia boleh saja diangkat sebagai hakim, meskipun ia tetap
menanggung wala’ (keterkaitan dengan bekas tuannya). [12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kadi atau hakim ialah orang yang ditunjuk
penguasa untuk menyelesaikan masalah gugat-menggugat dan persengketaan. Islam
mensyaratkan dengan ketat seseorang untuk dapat diangkat sebagai hakim,
tujuannya adalah untuk memastikan orang yang memegang jabatan hakim ini
benar-benar orang yang berwibawa, luas pengetahuannya, dan bisa dipercaya.
Syarat-syarat agar seorang bisa diangkat
sebagai kadi yaitu :
1. Beragama Islam
2.
Laki-laki
3.
Baligh dan Berakal
4.
Adil
5.
Mengetahui Pokok Hukum Syara’ dan
Cabang-Cabangnya
6.
Sempurna Panca Indra
7.
Berpengetahuan Luas
8.
Bukan Budak (Merdeka)
DAFTAR PUSTAKA
1. Manan, Abdul. 2007. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan.
Jakarta : Kencana.
2. Umar, Abdur Rahman.
1986. Kedudukan Saksi dalam Peradilan.
Jakarta : Pustaka Al-Husna.
[1] Abdul Manan, Etika Hakim dalam
Penyelenggaraan Peradilan, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 21.
[2] Abdur Rahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut
Hukum Islam, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), hal. 19.
[3] Abdur Rahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut
Hukum Islam, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), hal. 19.
[4] Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Cet. 1, (Jakarta:
Kencana, 2007), hal. 22.
[5]
Ibid, hal. 23.
[6]
Ibid, hal. 24.
[7] Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Cet. 1, (Jakarta:
Kencana, 2007), hal. 24.
[8] Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Cet. 1, (Jakarta:
Kencana, 2007), hal. 25.
[9] Abdur Rahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum
Islam, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), hal. 22-23.
[10] Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Cet. 1, (Jakarta:
Kencana, 2007), hal. 27-28.
[11] Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Cet. 1, (Jakarta: Kencana,
2007), hal. 29-30.
[12]
Ibid, hal. 31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar