KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam, karena berkat
nikmat, ma’unah dan hidayah-Nya, kita dapat menikmati kenikmatan yang diberikan
oleh Allah SWT.
Dan semoga
shalawat serta salam terlimpahkan pada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW,
beserta keluarga dan sahabatnya yang setia mengorbankan jiwa raga dan lainnya
untuk tegaknya syi’ar Islam, yang pengaruh dan manfaatnya hingga kini masih
terasa.
Dengan siraman
wahyu Ilahi itulah, manusia bisa menyadari dirinya dalam kesesatan yang jauh,
sehingga dengan demikian ia akan mengarahkan tujuan hidupnya kepada tujuan
hidup yang sebenarnya, yakni mengabdi kepada Allah SWT yang menciptakan semua
makhluk.
Namun
manusia tidak akan bisa mengabdi kepada Allah melainkan dengan mengikhlaskan
dirinya dalam pengabdian semata-mata hanya kepada-Nya, yang tiada sekutu
bagi-Nya.
Terwujudnya makalah ini untuk memahami
mahasiswa dalam mempelajari
Pandangan Ulama Tentang Kedudukan Hakim Perempuan.
Penulis
menyadari bahwa materi makalah ini belum sempurna seperti yang diharapkan, maka
untuk itu kritikan dan saran yang bersifat konstruktif bagi pembaca demi
kesempurnaan makalah ini di masa mendatang.
Kepada Allah SWT kita selalu memanjatkan do’a
semoga kita semua diberikan Taufiq dan Hidayah-Nya.
Amin
Ya Rabbal ‘Alamin….!
Langsa,
23 Oktober 2012
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 2
Pandangan Ulama Tentang Kedudukan Hakim Perempuan............................ 2
1.
Pendapat Imam Syafii.................................................................................. 2
2.
Pendapat Imam Hanafi ............................................................................... 3
3.
Pendapat Ibn Jarir
at-Tabari......................................................................... 5
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 8
BAB
I
PENDAHULUAN
Wanita itu bisa
dan mampu berbuat seperti kaum pria dalam berusaha dan berkarya. Realita ini bisa
ditemukan pada masa Nabi SAW, masa Sahabat dan masa Tabi’in. Para wanita tampil
di berbagai bidang, seperti Khadijah adalah seorang saudagar kaya yang sukses,
dan Asy-Syifa adalah seorang perempuan yang diserahi Umar bin Khattab untuk
menangani pasar kota Madinah.
Didalam ajaran
Islam, wanita juga mempunyai hak dan kesempatan untuk berkarir dengan tidak melalaikan
fungsi dan kedudukannya sebagai wanita. Islam juga memberikan dorongan yang
kuat agar para muslimah mampu berkarir disegala bidang. Islam membebaskan
wanita dari belenggu kebodohan, ketertinggalan dan perbudakan.
Mengenai kedudukan
hakim perempuan, kami menurunkan tiga pendapat ulama yaitu pendapat Imam
Syafi’i, Imam Hanafi dan Ibn Jarir at-Tabari. Karena ketiga pendapat tersebut
telah mewakili dari pendapat-pendapat yang ada tentang boleh tidaknya perempuan
memangku jabatan hakim.[1]
Hal ini tidak
terlepas adanya perbedaan dalam memahami Hadits Riwayat Imam Bukhari. Ada ulama
yang berpendapat bahwa wanita tidak boleh menjabat secara mutlak, serta ada
pula yang berpendapat boleh dalam kasus tertentu dan tidak boleh dalam kasus
lainnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pandangan Ulama
Tentang Kedudukan Hakim Perempuan
1.
Pendapat
Imam Syafi’i
Menurut jumhur
ulama dikalangan mazhab syafi’i, maliki dan hambali, laki-laki merupakan syarat
untuk dapat di angkat sebagai kadi.[2] Anak kecil dan wanita
tidak sah menjadi hakim.[3] Tidak sah wanita diangkat
sebagai kadi, apabila ada pihak yang mengangkat wanita sebagai kadi, maka
putusan yang dijatuhkan itu tidak sah.
Hal ini
didasarkan kepada firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 34 yang mengatakan
bahwa
“kaum
lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.[4]
Imam Syafi’i
menjadikan ayat diatas sebagai dalil tidak bolehnya perempuan menduduki jabatan
hakim, akan tetapi dia tidak mengemukakan cara istidlal dengan terperinci bagaimana caranya mengeluarkan hukum
dari ayat tersebut. Namun untuk melihat pendapat ini, kita dapat melacak
tulisan imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Um. Disini dia mengatakan bahwa
perempuan mempunyai kekurangan jika dibandingkan dengan pria. Oleh karena itu
pria dijadikan sebagai pemimpin (Qawwam), hakim, berjihad, memperoleh harta dua
bahagian dibanding perempuan, dan sebagainya.
Oleh karna Imam
Syafi’i tidak memgemukakan cara istidlal maka disini akan dikemukakan cara
istidlal yang ditempuh oleh ulama yang sependapat dengannya, antara lain Imam
Al-Qurtubi. Dia menjadikan Q.S. An-Nisa’ ayat 34 sebagai dalil bahwa perempuan
tidak boleh menjadi hakim. Hal ini dipahami dengan kata “qawwam” atau pemimpin.
Kata ini mempunyai tiga arti yaitu :1. hukkam (hakim), 2. Umara (penguasa), 3.
Man yazku (orang yang berperang). Demikian penafsiran kata qawwam oleh Imam
Al-Qurtubi.[5]
Dalil kedua yang dijadikan alasan oleh Imam
Syafi’i tentang tidak bolehnya perempuan menduduki jabatan hakim adalah hadits
Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Nas’i dan Turmudji dari
Abi Barkah yang berbunyi:
“Tidak diberi
keuntungan suatu umat jika mereka menyerahkan urusan mereka untuk dipimpin oleh
perempuan”.
Pendapat ini
juga didasarkan pada sebuah hadis dari Abi Barkah dimana Rasulullah SAW pernah
bersabda bahwa suatu bangsa tidak akan jaya apabila pemerintahan dipegang oleh
kaum wanita. Rasulullah SAW menyampaikan hal ini ketika mendengar Raja Persia
telah mati dan rakyat Persia melantikkan anak perempuannya menjadi Ratu.[6]
2.
Pendapat
Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah
menjelaskan bahwa wanita boleh diangkat sebagai kadi untuk memutuskan perkara
yang menerima persaksian wanita, dan tidak boleh memangku jabatan kadi dalam
masalah yang menerima persaksiannya. Jika ada penguasa yang mengangkat wanita
sebagai hakim, maka pengangkatannya itu sah tetapi orang yang mengangkatnya
memangku dosa. Demikian juga dengan putusan yang dijatuhkan oleh kadi wanita
itu tetap dianggap sah, kecuali kasus-kasus hudud
dan qisas. Hujah golongan yang
menyetujui pendapat mazhab Abu Hanifah ini didasarkan kepada qiyas, bahwa
wanita boleh menjadi saksi dalam berbagai masalah, maka wanita juga bisa
menjabat sebagai kadi dalam berbagai perkara, terutama perkara-perkara yang
diharuskan wanita bisa menjadi saksi.[7]
Imam Hanafi
menghubungkan pendapatnya itu dengan hukum kesaksian. Menurut beliau setiap
orang yang dapat diterima kesaksiannya dalam kasus tertentu, maka orang
tersebut bisa menjadi hakim dalam kasus tertentu pula. Demikian pula
sebaliknya, seseorang yang tidak bisa menjadi saksi dalam kasus tertentu, maka
untuk menjadi hakim pun tidak dibolehkan. Disini terlihat jelas suatu hubungan
hukum yang erat antara kebolehan menjadi hakim dengan kebolehan menjadi saksi.[8]
Adanya upaya
Imam Hanafi untuk mempersamakan ketentuan hukum yang berlaku bagi hakim dengan
ketentuan hukum yang berlaku bagi saksi dipandang mempunyai aspek persamaan
yang dominan. Kedua hal ini sama-sama berperan dalam mewujudkan nilai suatu
keputusan hukum, namun masih sulit sekali untuk menentukan mana yang lebih dominan
diantara keduanya. Sebagai contoh, penentuan syarat yang ketat bagi saksi
dimaksudkan agar keterangan yang diberikan benar-benar sesuai dengan fakta,
akan tetapi hal itu akan menjadi sia-sia bila hakim yang memutuskan perkara
tersebut adalah zhalim. Hal ini sama sia-sianya jika hakim yang adil memutuskan
hukum berdasarkan keterangan yang diberikan oleh saksi yang menyembunyikan
kebenaran (saksi palsu). Dengan demikian kedua hal tersebut sama-sama penting
guna mewujudkan suatu keputusan hukum yang adil.
Untuk lebih
jelasnya hubungan diatas, maka perlu dijelaskan ketentuan hukum kesaksian
menurut Imam Hanafi. Hal ini dapat dilihat dari dua aspek yaitu:
a.
Kesaksian
dua orang perempuan bersama seorang pria;
Ketentuan
ini didasarkan pada firman Allah SWT Q.S. al-Baqarah ayat 282 yang artinya:
“Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang –orang lelaki (di antara
kamu), jika tak ada dua orang lelaki maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, jika seorang lupa maka seorang
lagi mengingatkannya...”
b.
Kesaksian
perempuan secara mandiri
Imam
Hanafi dengan tegas mengatakan kesaksian perempuan secara mandiri tidak dapat
diterima. Hal ini didasarkan pada ketentuan Q.S. al-Baqarah ayat 282. Didalam
ayat tersebut ditegaskan bahwa saksi haruslah terdiri dari dua orang laki-laki,
atau kalau tidak terpenuhi maka boleh kesaksian seorang pria ditambah dengan
dua orang perempuan. Selanjutnya dalam ayat tersebut dikemukakan pula agar para
saksi dapat mengingatkan satu sama lainnya jika salah satunya lupa. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa Imam Hanafi pada prinsipnya tidak membolehkan
perempuan untuk menjadi saksi secara mandiri. Namun ia juga memberikan
pengecualian terhadap kasus-kasus yang dipandang “khususiah” bagi kaum
perempuan. Untuk kasus ini ia menerima kesaksian perempuan secara mandiri, karena
kalau tidak akan menyulitkan dalam pembuktian. Hal ini disebabkan karena pria
tidak dapat menyaksikan kasus tersebut. [9]
Indonesia
menganut prinsip yang memperbolehkan wanita boleh diangkat menjadi kadi (hakim
wanita) yang diperkerjakan pada pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah Nanggroe
Aceh Darussalam. Bahkan ada di beberapa tempat, wanita juga menjadi ketua dan
wakil ketua Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah. Kebolehan mengangkat wanita
dalam jabatan kadi yang diperkirakan di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah
NAD itu hasil musyawarah ulama senior yang dipimpin oleh Hasbi Ash Shiddieqy
pada tahun tujuh puluhan. Mungkin para ulama terbatas waktu itu mendasarkan
kepada mazhab Abu Hanifah dalam mengambil keputusan tentang dibolehkannya
mengangkat wanita sebagai kadi.[10]
3.
Pendapat
Ibn Jarir at-Tabari
Abu Said
al-Hasan bin Abi Hasan Yasar al-Basri, Ibn Jarir at-Tabari, dan Mazhab
az-Zahiri berpendapat bahwa wanita boleh menjadi hakim secara mutlak, yakni
dalam semua perkara.
Ibn Jarir
at-Tabari berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi hakim secara umum sama
seperti kesempatan yang diperoleh kaum pria. Logika yang ditempuh Ibn Jarir
at-Tabari dengan memberi ketentuan bahwa setiap orang yang boleh memberi fatwa
(menjadi mufti), maka orang tersebut boleh pula memutuskan perkara (diangkat
menjadi hakim). Disini jelas ada kaitan yang erat antara seorang hakim dengan
seorang mufti.
Sebelum
menganalisis lebih jauh pendapat Ibn Jarir at-Tabari tentang hakim perempuan,
perlu dijelaskan mengenai fatwa itu sendiri. Hal ini dapat ditemukan dari
ucapannya tentang kebolehan perempuan berfatwa. Ibn Jarir at-Tabari dengan
tegas mengatakan; perempuan boleh berfatwa secara umum terhadap seluruh masalah
fiqh dan cabang-cabangnya tanpa ada pengecualian. Kebolehannya sama dengan yang
dimiliki oleh kaum pria. Inilah yang dapat dilacak dari pendapatnya yang tegas
mengenai fatwa. Berdasarkan landasan inilah ia menganalogikan kebolehan
perempuan menjadi hakim sama dengan kebolehan yang diperoleh kaum pria.
Ketentuan ini diperoleh karena kedua-duanya (pria dan perempuan) boleh
memberikan fatwa secara umum, tanpa ada perbedaan satu sama lain.
Beranjak dari
logika terdahulu yang dikemukakan oleh Ibn Jarir at-Tabari, yaitu
menganalogikan tugas kehakiman terhadap adanya persyaratan yang dibutuhkan bagi
seorang mufti, maka sampailah ia pada kesimpulan bahwa perempuan itu boleh
menjadi hakim. Kenyataan seperti ini berawal dari menganalogikan tugas
kehakiman kepada kesempatan menjadi mufti, kemudian dinyatakan bahwa perempuan
boleh menjadi mufti, yang akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa perempuan boleh
menjadi hakim.
Selanjutnya
mengenai dalil yang diajukan oleh kedua ulama terdahulu baik Imam Syafi’i
maupun Imam Hanafi seperti: Q.S an-Nisa’ ayat 34, Q.S al-Baqarah ayat 282 dan
hadis Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Nasa’i dan Turmudzi
dan Abi Barkah, semuanya ditolak oleh Ibn Jarir at-Tabari. Karena menurut dia
tidak ada yang secara tegas mengatur tugas kehakiman.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari ketiga
pendapat ulama mazhab diatas serta dengan memperhatikan argumentasi yang
dimajukan, maka penulis dengan tidak mengecilkan pendapat yang lain
berkesimpulan bahwa pendapat Ibn Jarir lah yang lebih cocok dijadikan pedoman
pada masa sekarang. Kesimpulan ini sekurang-kurangnya didasarkan pada dua
alasan. Pertama, Al-Qur’an dan Hadits Rasul SAW tidak menyebutkan dengan tegas
bahwa perempuan tidak boleh menjadi hakim. Kedua, salah satu tujuan dari adanya
lembaga pengadilan adalah untuk mewujudkan “keadilan” bagi setiap warga
masyarakat. Untuk memenuhi rasa keadilan yang murni haruslah ditopang oleh
hakim yang berkualitas. Kalau dihubungkan dengan kondisi perempuan sekarang
tampak jauh berbeda dengan kondisi perempuan pada masa dahulu. Kenyataan
menunjukkan bahwa perempuan sekarang juga dapat memiliki keahlian dan kemampuan
intelektual yang tidak kalah dengan kaum pria. Oleh karenanya tidaklah pantas
jika kualitas seseorang hanya dapat diukur dari jenis kelaminnya semata-mata.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas,
Syahrizal. 2008. Corak Pemikiran Hukum
Islam Syeikh Abdurrauf As-Singkili: Studi Terhadap Kitab Mir’at al-Thullab
Tentang Hakim Perempuan, Banda Aceh: Yayasan Pena.
Manan, Abdul. 2007. Etika
Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan : Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan
Islam, Jakarta: Kencana.
Zuhriah,
Ervaniah. 2008. Peradilan Agama Di
Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut. Malang: UIN-Malang Press.
[1] Syeikh Abdurrauf As Singkili, Corak
Pemikiran Hukum Islam : Studi Terhadap Kitab Mir’at al-Thullab Tentang Hakim
Perempuan, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2008), hal 53
[2] Abdul Manan, Etika Hakim dalam
Penyelenggaraan Peradilan : Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta:
Kencana, 2007), hal 24
[3] Erfaniah Zuhriah, Peradilan
Agama Di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut (UIN-MALANG PRESS
: MALANG, 2008), Hal 11
[4] Syeikh Abdurrauf As Singkili, Corak
Pemikiran Hukum Islam : Studi Terhadap Kitab Mir’at al-Thullab Tentang Hakim
Perempuan, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2008), hal 54
[5] Ibid.... hal 55
[6] Abdul Manan, Etika Hakim dalam
Penyelenggaraan Peradilan,...... hal
24
[7] Ibid..... hal 24
[8] Syeikh Abdurrauf As Singkili, Corak
Pemikiran Hukum Islam ......... hal 61
[9] Ibid.... hal 66
[10] Abdul Manan, Etika Hakim dalam
Penyelenggaraan Peradilan ........ hal 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar