Kamis, 07 Maret 2013

makalah qawaid fiqhiyah



BAB I
PENDAHULUAN

Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik di dunia arab maupun di bagian lain termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut di ketahui, difahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.
Ketika islam datang membawa ajaran yang mengandung nilai-nilai uluhiyah (ketuhanan) dan nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan) bertemu dengan nilai-nilai adat kebiasaan di masyarakat. Diantaranya ada yang sesuai dengan nilai-nilai islam meskipun aspek filosofisnya berbeda dan ada pula yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam ajaran islam.
Kaidah-kaidah fiqih atau kaidah-kaidah hukum islam merupakan salah satu kekayaan peradaban islam, khususnya dibidang hukum yang digunakan sebagai solusi di dalam menghadapi problem kehidupan yang praktis sesuai dengan aturan yang terdapat dalam alqur’an dan hadis. Kaidah-kaidah tersebut masih relevan dan bisa dikembangkan lebih jauh untuk digunakan pada masa sekarang, dengan mengedepankan sikap yang moderat sebagai Ummatan Wasathan di dalam benturan-benturan peradaban masa kini.


BAB II
KAIDAH ASASI KELIMA
(al-‘adatu muhakkamatun)

A.    Pengertian Al-‘Adatu Muhakkamatun (b.arab)
(al-adatu muhakkamatun (b.arab))
“Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) dalam penetapan hukum.”
Kaidah hukum fiqih di atas secara umum memberi pengertian bahwa untuk menentukan hukum yang berdasarkan dari hasil penalaran dapat diterima salah satu teknik menentukan hukumnya melalui adat kebiasaan.
Adapun dalam buku kaidah-kaidah fikih karangan H.A.Djazuli, menurut bahasa al-‘adah diambil dari kata al-‘aud (b.arab) atau al-mu’awwadah(b.arab) yang artinya berulang (al-tikraar(b.arab)).[1]
Dalam buku kaidah fikih sejarah dan kaidah asasi karangan Jaih Mubarok dikatakan bahwa terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan, yaitu al’adat dan al-‘urf.
Menurut Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali, Aljurjani, dan ‘Ali Haidar berpendapat bahwa al-‘adat semakna dengan al-‘urf.[2]
Para ulama yang lain juga ada yang mengatakan bahwa al’adah dengan al-‘urf mempunyai defenisi yang sama dan substansi yang sama, meskipun disampaikan dengan ungkapan yang berbeda, seperti defenisi ‘urf yaitu:


“’Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum”

Dari defenisi diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa antara al-‘adah dan al-‘urf dapat kita defenisikan dengan: “apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.”

B.     Macam-macam Al-‘Adah
Adapun al-‘adah dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1). Al-‘adah al-shahihah (benar)
Yaitu kebiasaan yang dilakukan manusia yang tidak bertentangan dengan dalil syara’, serta dapat dipertimbangkan dalam penetapan hukum.
2). Al- ‘adah al-fasidah (yang tidak benar)
Yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’, serta tidak dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum.

C.    Landasan Hukumnya
Bahwa para ulama sepakat menolak al-‘adah al-fasidah (adat kebiasaan yang buruk) untuk dijadikan sebagai landasan hukum, hal ini dikarenakan al-‘adah fasid itu bertentangan dengan syara’. Sedangkan al-‘adah al-shahihah (adat kebiasaan yang dapat dijadikan landasan hukum) banyak digunakan di kalangan imam mazhab yang empat. Mereka sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan.
Adapun alasan mereka menerima al-‘adah al-shahihah sebagai landasan hukum adalah:
1.      Q. S. al-a’raf: 199
(dr khudzil sd jaahiliin)
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
Kata al-‘urfi dalam ayat tersebut difahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu, maka ayat tersebut difahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
2.         Pada dasarnya, syari’at islam banyak menampung dan mengakui adanya adat atau tradisi selama adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan syari’at islam yakni al-qur’an dan hadis. Adapun kedatangan islam tidak menghapuskan sama sekali seluruh tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat, akan tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Berdasarkan hal inilah para ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan.

D.    Syarat-syarat Al-‘Adah Dijadikan Sebagai Sumber Hukum 
Adapun syarat-syarat al-‘adah dapat dijadikan sebagai sumber hukum adalah :
1.      Adat itu harus tidak bertentangan dengan al-qur’an dan al-hadis.
2.      Adat itu harus bersifat umum, yakni dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk negeri/tempat itu.
3.      Adat itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada adat itu.
4.      Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak adat tersebut.
Sedangkan sebab dari al-‘adah yang tidak bisa digunakan sebagai landasan hukum adalah:
a.       Al-‘adah itu bertentangan dengan nash baik al-qur’an maupun hadis, seperti: puasa terus-terusan atau puasa empat puluh hari atau tujuh hari siang malam; kebiasaan judi; menyabung ayam; dan sebagainya.
b.    Al-‘adah tersebut menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan kemaslahatan, seperti: memboroskan harta; hura-hura dalam acara perayaan; memaksakan dalam menjual; dan lain sebagainya.
c.       Al-‘adah dilakukan oleh beberapa orang saja atau dengan kata lain tidak berlaku umum.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ibadah mahdhah tidak dilakukan kecuali yang telah disyari’atkan oleh allah dan al-‘adah tidak diharamkan kecuali yang telah diharamkan oleh allah.[3]
Adapun menurut para ulama, antara lain Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah (w.751 H) bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat. Maksud dari ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum fikih yang dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.

E.      Kaidah-Kaidah Cabang Al-‘Adah Al-Muhkamah
Adapun kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-‘adah muhkamah diantaranya adalah sebagai berikut:
1).
“Pekerjaan orang (banyak) adalah hujjah yang wajib diamalkan”
Maksud dari kaidah ini adalah kebiasaan yang dilakukan orang banyak dapat dijadikan dasar hukum yang wajib diamalkan. Sebagai contoh: menjahit pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menjahitnya adalah tukang jahit.

2).
“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”
Maksud dari kaidah ini adalah tidak dianggap kebiasaan yang bisa dijadikan pertimbangan hukum, apabila adat kebiasaan itu hanya sekali-sekali terjadi dan atau tidak berlaku umum. Dalam kaidah ini, terdapat dua syarat yang bisa disebut adat, yaitu terus menerus dilakukan dan bersifat umum (keberlakuannya). Contohnya: seseorang yang berlangganan surat kabar atau majalah, maka surat kabar atau majalah tersebut diantar kerumah pelanggan, dan jika pelanggan tidak mendapatkan majalah atau surat kabar tersebut, maka ia bisa komplain (mengadukannya) dan menuntutnya kepada agen majalah atau surat kabar tersebut.
3). 
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”   
Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu:

“Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi”
Sebagai contoh: para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang, tetapi bila menggunakan kaidah di atas, maka waktu hamil terpanjang tidak akan melebihi satu tahun.

4).
“Sesuatu yang diketahui secara adat laksana (ditetapkan) dengan syarat yang pasti.”
Maksudnya bahwa sesuatu yang menjadi kebiasaan masyarakat tertentu dijadikan syarat dalam akad. Sebagai contoh: apabila orang yang bergotong royong membangun rumah yatim piatu, berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong royong itu tidak dibayar, jadi mereka tidak bisa menuntut bayaran apapun. Lain halnya dengan yang sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasanya diupah untuk bekerja disuatu rumah yang dibangun, maka dia harus dibayar upahnya, meskipun dia tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau tukang cat apabila bekerja, dia mendapat bayaran.
5).
“Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka.”
Sesungguhnya ini adalah dhabith karena berlaku hanya di bidang muamalah saja, yakni sesuatu yang menjadi adat diantara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi.

6).
“Sesuatu yang diputuskan (ditetapkan) berdasarkan adat seperti (sesuatu yang) ditetapkan berdasarkan nash.”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan ‘urf yang memenuhi syarat seperti yang telah dikemukakan pada bagian D adalah mengikat dan sama kedudukannya seperti penetapan hukum berdasarkan nash. Sebagai contoh: seseorang yang menyewa rumah atau toko, maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan izin orang yang menyewakan.

7).
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan.”
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya. Sebagai contoh: seseorang yang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain itu miliknya. Tetapi di tidak bisa menjelaskan darimana asal harta tersebut.

8).
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat.”
Maksudnya adalah arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain yang ditunjukkan oleh adat kebiasaan. Sebagai contoh: dalam jual beli, apabila si pembeli sudah menyerahkan uang sebagai tanda jadi (uang muka), maka berdasarkan adat kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi. Maka si penjual tidak bisa lagi membatalkan jual belinya meskipun harga barang naik.

9).
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan.”

















KESIMPULAN

Bahwa adat kebiasaan suatu masyarakat memberi daya vitalitas dan gerak dinamis dari hukum islam dengan tidak kehilangan identitasnya sebagai hukum islam. Hukum islam menerima adat yang baik (al-shahihah) selama adat tersebut membawa maslahat untuk di terapkan.
Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
Adapun adat itu dapat dijadikan sebagai landasan hukum apabila:
v  Tidak bertentangan dengan nash
v  Berlaku umum
v  Tidak menimbulkan kerusakan atau kemafsadatan
v  Dan adat itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan pada ‘urf itu.
   



 


DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-wahab Al-khallaf, “Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam”, cet. 1, Jakarta: Pustaka Amani, 2003 M.
A.    Djazuli, “Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis”, cet. 2, Jakarta: Kencana, 2007.
Jaih Mubarok, “Kaidah Fiqh: Sejarah Dan Kaidah Asasi”, cet. 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 M.
Satria Effendi, “Ushul Fiqh”, cet. 2, Jakarta: Kencana, 2008.
Zainuddin Ali, “Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia”, cet. 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.


 


[1] H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis (Jakarta: kencana, 2007), hal.79.
[2] Abd Al-‘Aziz Al-Khayyath, Nazhariyyat Al- ‘Urf, (Amman: Maktabah Al- Aqsha, 1977),hal. 29.
[3] Ibnu Taimiyah, Al-Qawa’id Al-Nuraniyah Al-Fiqhiyah (Riyadh: Maktabah Al-Rusyd. 1322 h), cet I, Juz II, hal. 467.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar