BAB I
PENDAHULUAN
Sebelum
Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik di
dunia arab maupun di bagian lain termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan suatu
masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut.
Nilai-nilai tersebut di ketahui, difahami, disikapi, dan dilaksanakan atas
dasar kesadaran masyarakat tersebut.
Ketika
islam datang membawa ajaran yang mengandung nilai-nilai uluhiyah (ketuhanan) dan nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan) bertemu dengan nilai-nilai adat kebiasaan
di masyarakat. Diantaranya ada yang sesuai dengan nilai-nilai islam meskipun
aspek filosofisnya berbeda dan ada pula yang bertentangan dengan nilai-nilai
yang ada dalam ajaran islam.
Kaidah-kaidah
fiqih atau kaidah-kaidah hukum islam merupakan salah satu kekayaan peradaban
islam, khususnya dibidang hukum yang digunakan sebagai solusi di dalam
menghadapi problem kehidupan yang praktis sesuai dengan aturan yang terdapat
dalam alqur’an dan hadis. Kaidah-kaidah tersebut masih relevan dan bisa
dikembangkan lebih jauh untuk digunakan pada masa sekarang, dengan
mengedepankan sikap yang moderat sebagai Ummatan
Wasathan di dalam benturan-benturan peradaban masa kini.
BAB II
KAIDAH
ASASI KELIMA
(al-‘adatu muhakkamatun)
A. Pengertian Al-‘Adatu
Muhakkamatun (b.arab)
(al-adatu muhakkamatun (b.arab))
“Adat
kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) dalam penetapan hukum.”
Kaidah
hukum fiqih di atas secara umum memberi pengertian bahwa untuk menentukan hukum
yang berdasarkan dari hasil penalaran dapat diterima salah satu teknik
menentukan hukumnya melalui adat kebiasaan.
Adapun
dalam buku kaidah-kaidah fikih karangan H.A.Djazuli, menurut bahasa al-‘adah
diambil dari kata al-‘aud (b.arab) atau al-mu’awwadah(b.arab) yang artinya
berulang (al-tikraar(b.arab)).[1]
Dalam
buku kaidah fikih sejarah dan kaidah asasi karangan Jaih Mubarok dikatakan
bahwa terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan, yaitu al’adat dan al-‘urf.
Menurut
Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali, Aljurjani, dan ‘Ali Haidar
berpendapat bahwa al-‘adat semakna dengan al-‘urf.[2]
Para
ulama yang lain juga ada yang mengatakan bahwa al’adah dengan al-‘urf mempunyai
defenisi yang sama dan substansi yang sama, meskipun disampaikan dengan
ungkapan yang berbeda, seperti defenisi ‘urf yaitu:
“’Urf adalah apa yang dikenal oleh
manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal
tersebut menjadi biasa dan berlaku umum”
Dari
defenisi diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa antara al-‘adah dan al-‘urf
dapat kita defenisikan dengan: “apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia
secara umum yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.”
B. Macam-macam
Al-‘Adah
Adapun
al-‘adah dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1).
Al-‘adah al-shahihah (benar)
Yaitu
kebiasaan yang dilakukan manusia yang tidak bertentangan dengan dalil syara’, serta
dapat dipertimbangkan dalam penetapan hukum.
2).
Al- ‘adah al-fasidah (yang tidak benar)
Yaitu
kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’, serta
tidak dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum.
C. Landasan Hukumnya
Bahwa
para ulama sepakat menolak al-‘adah al-fasidah (adat kebiasaan yang buruk)
untuk dijadikan sebagai landasan hukum, hal ini dikarenakan al-‘adah fasid itu
bertentangan dengan syara’. Sedangkan al-‘adah al-shahihah (adat kebiasaan yang
dapat dijadikan landasan hukum) banyak digunakan di kalangan imam mazhab yang
empat. Mereka sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum,
meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan.
Adapun
alasan mereka menerima al-‘adah al-shahihah sebagai landasan hukum adalah:
1. Q.
S. al-a’raf: 199
(dr khudzil sd
jaahiliin)
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh.”
Kata
al-‘urfi dalam ayat tersebut difahami
sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Oleh karena
itu, maka ayat tersebut difahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu
yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
2.
Pada dasarnya,
syari’at islam banyak menampung dan mengakui adanya adat atau tradisi selama
adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan syari’at islam yakni al-qur’an
dan hadis. Adapun kedatangan islam tidak menghapuskan sama sekali seluruh
tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat, akan tetapi secara selektif ada
yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Berdasarkan hal
inilah para ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat
dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah
ditetapkan.
D. Syarat-syarat
Al-‘Adah Dijadikan Sebagai Sumber Hukum
Adapun
syarat-syarat al-‘adah dapat dijadikan sebagai sumber hukum adalah :
1. Adat
itu harus tidak bertentangan dengan al-qur’an dan al-hadis.
2. Adat
itu harus bersifat umum, yakni dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan
mayoritas penduduk negeri/tempat itu.
3. Adat
itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan
kepada adat itu.
4. Tidak
ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak adat
tersebut.
Sedangkan
sebab dari al-‘adah yang tidak bisa digunakan sebagai landasan hukum adalah:
a.
Al-‘adah itu
bertentangan dengan nash baik al-qur’an maupun hadis, seperti: puasa
terus-terusan atau puasa empat puluh hari atau tujuh hari siang malam;
kebiasaan judi; menyabung ayam; dan sebagainya.
b.
Al-‘adah tersebut menyebabkan kemafsadatan
atau menghilangkan kemaslahatan, seperti: memboroskan harta; hura-hura dalam
acara perayaan; memaksakan dalam menjual; dan lain sebagainya.
c. Al-‘adah
dilakukan oleh beberapa orang saja atau dengan kata lain tidak berlaku umum.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ibadah mahdhah tidak
dilakukan kecuali yang telah disyari’atkan oleh allah dan al-‘adah tidak
diharamkan kecuali yang telah diharamkan oleh allah.[3]
Adapun menurut para ulama, antara lain Ibnu
Al-Qayyim Al-Jauziyah (w.751 H) bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum
dengan adanya perubahan waktu dan tempat. Maksud dari ungkapan ini adalah bahwa
hukum-hukum fikih yang dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu
akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
E.
Kaidah-Kaidah
Cabang Al-‘Adah Al-Muhkamah
Adapun kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-‘adah
muhkamah diantaranya adalah sebagai berikut:
1).
“Pekerjaan orang
(banyak) adalah hujjah yang wajib diamalkan”
Maksud
dari kaidah ini adalah kebiasaan yang dilakukan orang banyak dapat dijadikan
dasar hukum yang wajib diamalkan. Sebagai contoh: menjahit pakaian kepada
tukang jahit, sudah menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang,
jarum, dan menjahitnya adalah tukang jahit.
2).
“Adat yang
dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus
berlaku atau berlaku umum”
Maksud dari kaidah ini adalah tidak dianggap
kebiasaan yang bisa dijadikan pertimbangan hukum, apabila adat kebiasaan itu
hanya sekali-sekali terjadi dan atau tidak berlaku umum. Dalam kaidah ini,
terdapat dua syarat yang bisa disebut adat, yaitu terus menerus dilakukan dan
bersifat umum (keberlakuannya). Contohnya: seseorang yang berlangganan surat
kabar atau majalah, maka surat kabar atau majalah tersebut diantar kerumah
pelanggan, dan jika pelanggan tidak mendapatkan majalah atau surat kabar tersebut,
maka ia bisa komplain (mengadukannya) dan menuntutnya kepada agen majalah atau
surat kabar tersebut.
3).
“Adat yang
diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang
jarang terjadi”
Ibnu Rusydi menggunakan
ungkapan lain, yaitu:
“Hukum itu
dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi”
Sebagai
contoh: para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang, tetapi bila
menggunakan kaidah di atas, maka waktu hamil terpanjang tidak akan melebihi
satu tahun.
4).
“Sesuatu yang
diketahui secara adat laksana (ditetapkan) dengan syarat yang pasti.”
Maksudnya bahwa sesuatu yang menjadi kebiasaan
masyarakat tertentu dijadikan syarat dalam akad. Sebagai contoh: apabila orang
yang bergotong royong membangun rumah yatim piatu, berdasarkan adat kebiasaan,
orang-orang yang bergotong royong itu tidak dibayar, jadi mereka tidak bisa
menuntut bayaran apapun. Lain halnya dengan yang sudah dikenal sebagai tukang
kayu atau tukang cat yang biasanya diupah untuk bekerja disuatu rumah yang
dibangun, maka dia harus dibayar upahnya, meskipun dia tidak mensyaratkan
apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau tukang cat apabila bekerja, dia
mendapat bayaran.
5).
“Sesuatu yang
telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka.”
Sesungguhnya
ini adalah dhabith karena berlaku
hanya di bidang muamalah saja, yakni sesuatu yang menjadi adat diantara
pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi.
6).
“Sesuatu yang diputuskan
(ditetapkan) berdasarkan adat seperti (sesuatu yang) ditetapkan berdasarkan
nash.”
Maksud
kaidah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan ‘urf yang memenuhi syarat
seperti yang telah dikemukakan pada bagian D adalah mengikat dan sama
kedudukannya seperti penetapan hukum berdasarkan nash. Sebagai contoh:
seseorang yang menyewa rumah atau toko, maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah
tersebut tanpa mengubah bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan izin orang
yang menyewakan.
7).
“Sesuatu yang tidak berlaku
berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan.”
Maksud
kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan
secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya. Sebagai contoh:
seseorang yang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain itu miliknya.
Tetapi di tidak bisa menjelaskan darimana asal harta tersebut.
8).
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan
karena ada petunjuk arti menurut adat.”
Maksudnya
adalah arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain yang ditunjukkan
oleh adat kebiasaan. Sebagai contoh: dalam jual beli, apabila si pembeli sudah
menyerahkan uang sebagai tanda jadi (uang muka), maka berdasarkan adat
kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi. Maka si penjual tidak bisa lagi
membatalkan jual belinya meskipun harga barang naik.
9).
“Pemberian izin menurut adat
kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan.”
KESIMPULAN
Bahwa
adat kebiasaan suatu masyarakat memberi daya vitalitas dan gerak dinamis dari
hukum islam dengan tidak kehilangan identitasnya sebagai hukum islam. Hukum
islam menerima adat yang baik (al-shahihah) selama adat tersebut membawa
maslahat untuk di terapkan.
Hukum
yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam
arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat
yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
Adapun
adat itu dapat dijadikan sebagai landasan hukum apabila:
v Tidak
bertentangan dengan nash
v Berlaku
umum
v Tidak
menimbulkan kerusakan atau kemafsadatan
v Dan
adat itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan
dilandaskan pada ‘urf itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd
Al-wahab Al-khallaf, “Ilmu Ushul Fikih:
Kaidah Hukum Islam”, cet. 1, Jakarta: Pustaka Amani, 2003 M.
A. Djazuli,
“Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum
Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis”, cet. 2, Jakarta:
Kencana, 2007.
Jaih Mubarok, “Kaidah Fiqh: Sejarah Dan Kaidah Asasi”,
cet. 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 M.
Satria Effendi, “Ushul Fiqh”, cet. 2, Jakarta: Kencana,
2008.
Zainuddin Ali, “Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di
Indonesia”, cet. 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
[1] H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum
Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis (Jakarta: kencana,
2007), hal.79.
[2] Abd Al-‘Aziz Al-Khayyath, Nazhariyyat Al- ‘Urf, (Amman: Maktabah
Al- Aqsha, 1977),hal. 29.
[3] Ibnu Taimiyah, Al-Qawa’id Al-Nuraniyah Al-Fiqhiyah
(Riyadh: Maktabah Al-Rusyd. 1322 h), cet I, Juz II, hal. 467.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar