KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah studi peradilan islam ini. Shalawat dan salam kami
junjungkan kepangkuan Nabi Muhammad SAW bserta seluruh keluarga dan sahabatnya.
Makalah ini merupakan tugas kelompok yang
harus diselesaikan oleh setiap mahasiswa/i untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan dalam memahami mata kuliah ini.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang selama ini telah banyak memberikan
pengarahan dan bimbingan, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung
dalam menyelesaikan makalah ini.
Dalam penyelesaian makalah ini kami
menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dalam segi
bahasa maupun dalam segi kalimatnya. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan penyelesaian makalah di
masa yang akan datang.
Langsa, Desember 2010
Kelompok 12
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................
BAB I.
PENDAHULUAN......................................................................................
BAB II.
PEMBAHASAN.......................................................................................
A.
Tidak ada tingkat banding
dan kasasi...........................................................
B.
Dimungkinkan peninjauan
kembali...............................................................
BAB III. PENUTUP...............................................................................................
A.
Kesimpulan.......................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
Hukum Acara Perdata Islam tidak mengenal mahkamah banding tingkat pertama dan
tingkat kedua karena seluruh bentuk pengadilan dalam memutuskan sesuatu
perselisihan memiliki kedudukan yang sama.
Apabila
seorang hakim memutuskan perkara maka putusannya sah atau berlaku dan tidak
bisa dibatalkan oleh hakim lain, kecuali bila putusan tersebut bertentangan
dengan nash qath’i (dasr yang jelas)
dari kitabullah, sunnah Rasul, dan ijma’ sahabat.
Oleh
karena itu, kami sebagai pemakalah ingin membahas mengenai upaya hukum; baik
banding, kasasi dan peninjauan kembali dari aspek Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tidak ada tingkat banding
dan kasasi
Upaya
hukum banding adalah permintaan atau permohonan yang diajukan oleh salah satu
pihak-pihak yang terlibat dalam perkara, agar penetapan atau putusan yang
dijatuhkan Pengadilan Agama, ”dieriksa ulang” kembali dalam pemeriksaan tingkat
banding oleh Pengadilan Tinggi Agama.[1]
Menurut
Abdul Qadim Zallum, dalam Hukum acara Perdata Islam tidak mengenal mahkamah
banding tingkat pertama dan tingkat kedua karena seluruh bentuk pengadilan dalam
memutuskan sesuatu perselisihan memiliki kedudukan yang sama. Apabila seorang
hakim memutuskan perkara maka putusannya sah atau berlaku dan tidak bisa dibatalkan
oleh hakim lain, kecuali bila putusan tersebut bertentangan dengan nash qath’i (dasr yang jelas) dari kitabullah, sunnah Rasul, dan ijma’ sahabat.[2]
Hal ini
sesuai dengan jaminan Rasulullah SAW melalui sabdanya. Dari ’Amru Bin ’Ash,
sesungguhnya ia telah mendengar Rasululah SAW bersabda:
”Apabila
seorang hakim memutus perkara lalu ia berijtihad, kemudian ijtihadnya itu benar
maka baginya mendapat dua pahala, dan apabila hakim menghukum lalu ia
berijtihad, kemudian ijtihadnya salah maka baginya medapat satu
pahala.”(HR.Muttafaq ’alaih)
Khalifah
Umar bin Khatab pernah mengirimkan surat secara khusus kepada qadhi Abu Musa Al-As’ari yang berisi
tentang kaidah mengenai putusan hakim. Diantara isi surat dari Umar mengenai
kemungkinan seorang hakim mengubah putusannya adalah sebagai berikut:[3]
”Dan
janganlah satu putusan menghalang-halangi kamu (untuk mengambil) suatu
keputusan yang telah kau putukan sebelumnya. Lalu setelah kamu teliti putusan
itu sendiri, kamu mendapat petunjuk karena kebijaksanaanmu dalam hal itu
sehingga kamu inginkembali kepada yang haq,
maka yang haq itulah yang harus
diutamakan sebab kembali kepada yang haq
itu lebih baik daripada tetap dalam kebatilan.”
Surat ini
adalah pernyataan Umar dan bukan merupakan dalil syara’. Tidak bisa pula diklaim sebagai ijma’ meskipun sahabat pada waktu itu diam. Sebab, diam yang bisa
dianggap sebagai ijma’ adalah hanya
diam terhadap peristiwa yang masyhur. Sementara itu surat ini hanya ditujukan
kepada hakim tertentu, bukan semua hakim meskipun surat ini kemudian menjadi
populer. Di samping itu, masalah yang dinyatakan Umar juga bukan masalah yang
biasanya harus diingkari karena apa yang ada di dalamnya bukan masalah yang
ditolak syara’.
Maksud
dari pada isi surat tersebut adalah jika tampak kekeliruan atau kesalahan, atau
pelanggaran terhadap nash-nash qath’i
pada hukum yang telah diputuskan maka harus diteliti dan diputus kembali, tidak
berarti harus mencabutnya. Demikian pendapat dari Abdul Qadim Zallum.[4]
Taher
Azhari menyatakan bahwa maksud dari surat tersebut adalah setiap putusan tidak
dapat dibatalkan oleh apa pun, kecuali adanya peninjauan kembali yang
didasarkan kepada kebenaran.[5]
B.
Dimungkinkan Peninjauan
Kembali
Peninjauan
kembali adalah pemeriksaan kembali putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Setiap
hukum yang diputuskan oleh hakim, pada asasnya merupakan hukum-hukumyang
menghilangkan sengketa dan harus dituruti ole kedua belah pihak. Namun jika
terjadi khilaf, maka qadhi al-qudhah atau orang yang ditunjuk
olehnya boleh menunjuk kembali hukum yang telah diputuskan tanpa harus
mencabutnya.
Dia dapat
menolak atau mengubahnya. Jika hukum yang diputuskan oleh hakim sudah benar,
maka qadhi al-qudhah akan
memperkuatnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap
putusan Ali bin Abi Thalib ra.
Adapun
alasan-alasan yang diperbolehkan mengajukan hukum peninjauan kembali terhadap
suatu perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah:
1. Apabila berlawanan
dengan ijma’.
2. Apabila berlawanan
dengan kaidah-kaidah kulliyah.
3. Apabila berlawanan
dengan nash ajali.
4. Apabila berlawanan dengan qiyas.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Upaya hukum banding adalah permintaan atau
permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak-pihak yang terlibat dalam
perkara, agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan Pengadilan Agama,
”dieriksa ulang” kembali dalam pemeriksaan tingkat banding oleh Pengadilan
Tinggi Agama.
Dalam Hukum acara Perdata Islam tidak
mengenal mahkamah banding tingkat pertama dan tingkat kedua karena seluruh
bentuk pengadilan dalam memutuskan sesuatu perselisihan memiliki kedudukan yang
sama. Apabila seorang hakim memutuskan perkara maka putusannya sah atau berlaku
dan tidak bisa dibatalkan oleh hakim lain, kecuali bila putusan tersebut
bertentangan dengan nash qath’i (dasr
yang jelas) dari kitabullah, sunnah
Rasul, dan ijma’ sahabat.
Adapun
alasan-alasan yang diperbolehkan mengajukan hukum peninjauan kembali terhadap
suatu perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah:
1. Apabila berlawanan
dengan ijma’.
2. Apabila berlawanan
dengan kaidah-kaidah kulliyah.
3. Apabila berlawanan
dengan nash ajali.
4. Apabila berlawanan
dengan qiyas.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata
di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: kencana, 2005.
Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam,Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009.
[2] Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, cet.1, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia,
2009),hal. 115.
[3] Asadulloh Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, cet.1,
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009),hal.116.
[4] Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, cet.1,
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009),hal. 116-117
[5]
Ibid, hal. 117.
[6] Asadulloh Al-Faruq, Hukum
Acara Peradilan Islam, cet.1, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009),hal. 117
Tidak ada komentar:
Posting Komentar