Kamis, 07 Maret 2013

upaya banding



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah studi peradilan islam ini. Shalawat dan salam kami junjungkan kepangkuan Nabi Muhammad SAW bserta seluruh keluarga dan sahabatnya.
Makalah ini merupakan tugas kelompok yang harus diselesaikan oleh setiap mahasiswa/i untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam memahami mata kuliah ini.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang selama ini telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan makalah ini.
Dalam penyelesaian makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dalam segi bahasa maupun dalam segi kalimatnya. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan penyelesaian makalah di masa yang akan datang.






Langsa,  Desember 2010


                                                                                         Kelompok 12

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................

BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................

BAB II. PEMBAHASAN.......................................................................................
A.    Tidak ada tingkat banding dan kasasi...........................................................
B.     Dimungkinkan peninjauan kembali...............................................................

BAB III. PENUTUP...............................................................................................
A.    Kesimpulan.......................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam Hukum Acara Perdata Islam tidak mengenal mahkamah banding tingkat pertama dan tingkat kedua karena seluruh bentuk pengadilan dalam memutuskan sesuatu perselisihan memiliki kedudukan yang sama.
Apabila seorang hakim memutuskan perkara maka putusannya sah atau berlaku dan tidak bisa dibatalkan oleh hakim lain, kecuali bila putusan tersebut bertentangan dengan nash qath’i (dasr yang jelas) dari kitabullah, sunnah Rasul, dan ijma’ sahabat.
Oleh karena itu, kami sebagai pemakalah ingin membahas mengenai upaya hukum; baik banding, kasasi dan peninjauan kembali dari aspek Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tidak ada tingkat banding dan kasasi
Upaya hukum banding adalah permintaan atau permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak-pihak yang terlibat dalam perkara, agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan Pengadilan Agama, ”dieriksa ulang” kembali dalam pemeriksaan tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Agama.[1]
Menurut Abdul Qadim Zallum, dalam Hukum acara Perdata Islam tidak mengenal mahkamah banding tingkat pertama dan tingkat kedua karena seluruh bentuk pengadilan dalam memutuskan sesuatu perselisihan memiliki kedudukan yang sama. Apabila seorang hakim memutuskan perkara maka putusannya sah atau berlaku dan tidak bisa dibatalkan oleh hakim lain, kecuali bila putusan tersebut bertentangan dengan nash qath’i (dasr yang jelas) dari kitabullah, sunnah Rasul, dan ijma’ sahabat.[2]
Hal ini sesuai dengan jaminan Rasulullah SAW melalui sabdanya. Dari ’Amru Bin ’Ash, sesungguhnya ia telah mendengar Rasululah SAW bersabda:



”Apabila seorang hakim memutus perkara lalu ia berijtihad, kemudian ijtihadnya itu benar maka baginya mendapat dua pahala, dan apabila hakim menghukum lalu ia berijtihad, kemudian ijtihadnya salah maka baginya medapat satu pahala.”(HR.Muttafaq ’alaih)
Khalifah Umar bin Khatab pernah mengirimkan surat secara khusus kepada qadhi Abu Musa Al-As’ari yang berisi tentang kaidah mengenai putusan hakim. Diantara isi surat dari Umar mengenai kemungkinan seorang hakim mengubah putusannya adalah sebagai berikut:[3]
”Dan janganlah satu putusan menghalang-halangi kamu (untuk mengambil) suatu keputusan yang telah kau putukan sebelumnya. Lalu setelah kamu teliti putusan itu sendiri, kamu mendapat petunjuk karena kebijaksanaanmu dalam hal itu sehingga kamu inginkembali kepada yang haq, maka yang haq itulah yang harus diutamakan sebab kembali kepada yang haq itu lebih baik daripada tetap dalam kebatilan.”
Surat ini adalah pernyataan Umar dan bukan merupakan dalil syara’. Tidak bisa pula diklaim sebagai ijma’ meskipun sahabat pada waktu itu diam. Sebab, diam yang bisa dianggap sebagai ijma’ adalah hanya diam terhadap peristiwa yang masyhur. Sementara itu surat ini hanya ditujukan kepada hakim tertentu, bukan semua hakim meskipun surat ini kemudian menjadi populer. Di samping itu, masalah yang dinyatakan Umar juga bukan masalah yang biasanya harus diingkari karena apa yang ada di dalamnya bukan masalah yang ditolak syara’.
Maksud dari pada isi surat tersebut adalah jika tampak kekeliruan atau kesalahan, atau pelanggaran terhadap nash-nash qath’i pada hukum yang telah diputuskan maka harus diteliti dan diputus kembali, tidak berarti harus mencabutnya. Demikian pendapat dari Abdul Qadim Zallum.[4]
Taher Azhari menyatakan bahwa maksud dari surat tersebut adalah setiap putusan tidak dapat dibatalkan oleh apa pun, kecuali adanya peninjauan kembali yang didasarkan kepada kebenaran.[5]

B.     Dimungkinkan Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali adalah pemeriksaan kembali putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Setiap hukum yang diputuskan oleh hakim, pada asasnya merupakan hukum-hukumyang menghilangkan sengketa dan harus dituruti ole kedua belah pihak. Namun jika terjadi khilaf, maka qadhi al-qudhah atau orang yang ditunjuk olehnya boleh menunjuk kembali hukum yang telah diputuskan tanpa harus mencabutnya.
Dia dapat menolak atau mengubahnya. Jika hukum yang diputuskan oleh hakim sudah benar, maka qadhi al-qudhah akan memperkuatnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap putusan Ali bin Abi Thalib ra.
Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan mengajukan hukum peninjauan kembali terhadap suatu perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah:
1.      Apabila berlawanan dengan ijma’.
2.      Apabila berlawanan dengan kaidah-kaidah kulliyah.
3.      Apabila berlawanan dengan nash ajali.
4. Apabila berlawanan dengan qiyas.[6]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Upaya hukum banding adalah permintaan atau permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak-pihak yang terlibat dalam perkara, agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan Pengadilan Agama, ”dieriksa ulang” kembali dalam pemeriksaan tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Agama.
Dalam Hukum acara Perdata Islam tidak mengenal mahkamah banding tingkat pertama dan tingkat kedua karena seluruh bentuk pengadilan dalam memutuskan sesuatu perselisihan memiliki kedudukan yang sama. Apabila seorang hakim memutuskan perkara maka putusannya sah atau berlaku dan tidak bisa dibatalkan oleh hakim lain, kecuali bila putusan tersebut bertentangan dengan nash qath’i (dasr yang jelas) dari kitabullah, sunnah Rasul, dan ijma’ sahabat.
Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan mengajukan hukum peninjauan kembali terhadap suatu perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah:
1.      Apabila berlawanan dengan ijma’.
2.      Apabila berlawanan dengan kaidah-kaidah kulliyah.
3.      Apabila berlawanan dengan nash ajali.
4.      Apabila berlawanan dengan qiyas.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: kencana, 2005.
Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam,Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009.


1 Abdul manan,penerapan hukum acara perdata, cet.3, (jakarta: kencana, 2005),hal.344.
[2] Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, cet.1, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009),hal. 115.
[3] Asadulloh Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, cet.1, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009),hal.116.
[4] Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, cet.1, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009),hal. 116-117
[5] Ibid, hal. 117.
[6] Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, cet.1, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009),hal. 117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar