BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Keadilan
merupakan salah satu dari nilai-nilai Islam yang tinggi. Hal itu disebabkan
menegakkan keadilan dan kebenaran menebarkan ketentraman, meratakan keamanan,
memperkuat hubungan-hubungan antara individu dengan individu lain, memperkokoh
kepercayaan antara penguasa dan rakyat, menumbuhkan kekayaan, menambahkan
kesejahteraan dan meneguhkan tradisi, sehingga tidak mengalami kekacauan.
Sesungguhnya
keadilan dapat diwujudkan dengan menyampaikan setiap hak kepada yang berhak dan
dengan melaksanakan hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah serta dengan
menjauhkn hawa nafsu melalui pembagian yang adil sesama manusia.
Diantara
permasalahan yang akan dibahas yaitu mengenai lembaga apakah qhadi
al-qhuddad, al-qhada, al-hisbah, al-mazallim, dan mahkamah al-asykariyyah.
Orang
yang pertama kali memegang jabatan dalam peradilan ialah Rasulullah SAW. Allah
berfirman dalam Q.S. An-Nisa: 105-106, “sesungguhnya Kami telah menurunkan
kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah) karena membela orang-orang yang
berkhianat. Dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah maha pengampun
Maha Penyayang……
B.
PERMASALAHAN
- Terdiri atau berapakah lembaga kehakiman itu?
- Apa-apa saja tugas lembaga kehakiman?
- Lembaga apakah Qhadi Al-Qhuddad, Al-Qhada, Al-Hisbah, Al-Mazallim, Dan Mahkamah Al-Asykariyyah?
- Bagaiman sistem-sistem yang dijalankan dalam lembaga-lembaga kehakiman?
BAB II
LEMBAGA-LEMBAGA
KEHAKIMAN ISLAM
A. PENGERTIAN
Kekuasaan kehakiman dalam tradisi Islam sering dipadankan dengan istilah sulthah qadhaiyah . kata sulthah berasal dari bahasa Arab yang
berarti pemerintahan. menurut Louis Ma’luf sulthah
berarti al-malik al-qudrah ,
yakni kekuasaan pemerintah. sedangkan al-Qadhaiyyah
yaitu putusan penyelesaian
perselisihan atau peradilan . Jadi sulthah qadhaiyyah secara etimologis
berarti kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan atau kehakiman, sedangkan
secara terminology berarti ; kekuasaan atas sesuatu yang kokoh dari bentuk
perbuatan yang dilaksanakan atau bentuk perbuatan yang ditinggalkan.[1]
Maksudnya yaitu kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses
perundang-undangan sejak penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili
perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana. Dalam
Bahasa Indonesia sering dikenal dengan istilah yudikatif. Yang tujuannya
menegakkan kebenaran dan menegakkan keadilan serta menguatkan Negara dan
menstabilkan kedudukan hukum kepala
Negara.
Imam Al-Mawardi dalam buku al-Ahkam As-Assulthaniyyah merinci sepuluh
tugas kekuasaan yudikatif :
1.
memutus atau menyelesaikan
perselisihan , dengan mendamaikan kedua elah pihak.
2.
membebaskan orang yang tidak
bersalah dari sanksi dan hukuman, dan memberi sanksi bagi yang bersalah,
3.
menetapkan harta benda orang yang
tidak bisa menguasai sendiri atau gili, anak-anak, dan idiot,
4.
mengelola harta wakaf,
5.
memberikan wasiat berdasarkan
syarat pemberi wasiat,
6.
menikahkan wanita yang tidak
mempunyai wali,
7.
melaksanakan hudud bagi orang yang
berhak menerimanya,
8.
memikirkan kemaslahatan umum,
seperti meruntuhkan bangunan-bangunan illegal,
9.
memilih pegawai yang akan mewakilinya,
10. menegakkan keadilan tanpa memandang bangsawan maupun rakyat
biasa.[2]
B.
LEMBAGA-LEMBAGA KEHAKIMAN
1.
Qhadi Al-Qudhad (Hakim Agung)
Qhadi al-qudhad ialah kepala dari seluruh hakim. Diantara tugas pentingnya ialah menangani
perkara di peradilan umum , al-mazallim dan mengangkat hakim-hakim yang akan ditetapkan
diseluruh proinsi . qhadhi al-qudhat selain bertugas mengangkat hakim juga
berwenang memecat hakim dan menerima permintaan hakim yang ingin mengundurkan
diri, juga mengurusi urusan administrasi. Qadhi al-qudhad juga memberikan
pengawasan kepada para hakim bawahannya.
Tugas lainnya institusi ini juga meneliti keputusan- keputusan
hakim-hakim di bawahnya bahkan mempunyai hak untuk membatalkan keputusan
hakim-hakim di daerah.
2.
Al-Qadha
Al-Qadha ialah lembaga yang bertugas memberi penerangan dan pembinaan
hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan dan masalah waqaf secara
spesifik. Salam Madkur memeri pengertian : lembaga yang bertugas memutuskan
sengketa antara dua pihak yang bertikai dengan hukum yang telah ditetapkan oleh
Allah swt dengan benar dan adil tanpa memihak kepada salah satunya, menempatkan
mereka sama di hadapan hukum Allah . lembaga ini dirilis sejak masa Rasulullah
saw dan disempurnakan pada masa sesudahnya, terutama dinasti Umayyah dan
Abbasiyah. Pada masa dinasti tersebut setiap perkara diselesaikan menurut
mazhab yang dianut oleh masyarakat.[3]
Taqiyuddin al-Nabhani menyebutkan al-qadha
biasa yakni yang mengurusi penyelesaian perkara sengketa di tengah masyarakat
dalam hal muamalah dan u`quut (sanksi
hukum). Badan Al-qadha ini dipimpin
oleh seorang hakim yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang
digali langsung dari Al-Qur`an, sunnah, ijma`, atau berdasarkan ijtihad. Badan
ini bebas dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum, sekalipun
terhadap penguasa. Dalam konteks Islam al-qadha
ini dapat disamakan dengan badan peradilan agama atau peradilan umum.
Sedangkan bila dilihat dari perspektif kontemporer fungsi lembaga qadhi dapat dikatakan mirip dengan
fungsi badan yudikatif dan legislative. Pada satu sisi qadhi mengurusi kasus yang membutuhkan penyelesaian secara hukum Islam,
dan mengadili perkara-perkara perdata dan pidana berdasarkan hukum islam. pada
sisi lain qadhi juga memiliki
kewajian untuk melakukan ijtihad
dalam rangka legislasi, termasuk mengeluarkan fatwa yang diderifasikan dari
syariah. Namun demikian, menurut Rifyal Ka`bah fungsi legislasi qadhi sangat
terbatas, karena terbatas pada hal-hal yang disebut al-mubah (lapangan kebolehan) .
Oleh karena itu dalam Islam tidak boleh ada pengaruh apapun dari siapapun
atas kedudukan para hakim dan mereka sendiripun tidak boleh terpengaruh kecuali
oleh kebenaran dan keadilan. Para hakim haruslah membersihkan diri dari hawa
nafsu dan harus memperlakukan manusia sama didepan hukum atau pengadilannya.
3. Al-Hisbah
Al-hisbah adalah salah satu
badan pelaksana kekuasaan dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan
dan mencegah kezaliman. Al-Mawardi mendefinisikan al-hisbah dengan : “amar bil
ma’ruf iza zahar tarkah wa nahy’an munkar iza azhar fi’lah”(menegakkan kebajikan jika terlihat diabaikan dan mencegah
kebatilan yang terbukti dilakukan).
Pejabat badan hisah disebut al-muhtasib,
tugasnya menangani kriminal yang perlu penyelesaian segera, mengawasi hukum,
mengatur ketertiban umum, menyelesaikan masalah-masalah kriminal, mencegah
terjadinya pelanggaran hak-hak tetangga, serta menghukum orang yang
mempermainkan hukum syariat, ia ditunjuk oleh sultan dan / atau khalifah untuk
mengawasi pasar-pasar dan para pedagang agar tidak terjadi kecurangan. Ia juga
bertugas memelihara sopan-santun dan kesusilaan ditengah-tengah masyarakat.
Menurut al-nabani, qhadi muhtasib
adalah orang yang mengurusi penyelesaian perkara penyimpangan yang bisa
memahayakan hak jamaa’h (amar ma’ruf nahi
munkar), mengingat fungsi tersebut, maka seorang muhtasib memiliki hak-hak untuk melaksanakan hukuman melalui proses
pengadilan. Dalam konteks sekarang, fungsi muhtasib
sama dengan polisi pasar pada zaman sekarang, hanya saja peredaannya, polisi
tidak dapat menghukum terdakwa tanpa diajukan ke pengadilan terleih dahulu.
4. Al-Madhalim
Al-Mazallim adalah salah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan
merupakan peradilan untuk mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang
terjadi antara rakyat dan Negara , selain itu ia juga menangani kasus-kasus
penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat tinggi, bangsawan, hartawan, atau
keluarga sultan terhadap rakyat biasa. Secara operasional, qhadi madzalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat
diputuskan oleh qadha dan muhtasib, meninjau kembali putusan yang
dibuat oleh dua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding.
Badan tersebut memiliki Mahkamah Madzalim. Sidangnya selalu
diselenggarakan di masjid dan dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota sidang:
1.
para pembela dan pembantu sebagai juri yang berusaha meluruskan
penyimpangan-penyimpangan hokum,
2.
para hakim yang mempertahankan wibawa hukum dan mengembalikan hak
kepada yang berhak,
3.
para
fuqaha tempat rujukan qadhi madzalim
bila menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang musykil dari segi hukum syariat,
4.
para khatib mencatat pernyataan-pernyataan dalam siding dan
keputusan sidang,
5.
para saksi yang memberi kesaksian
terhadap masalah yang diperkarakan.
Wilayat al-Mazallim merupakan
lemaga kehakiman tingkat tinggi yang sejak masa khalifah Abdul Malik (685-705 M)
untuk pusat dipegang langsung oleh khalifah, dalam penanganan ini, khalifah
menyediakan waktu khusus untuk menyelesaikan perkara yang masuk. Sedangkan
untuk daerah, jabatan ini dipegang oleh qadhi
madzallim. Wilayat al-mazallim ini juga menangani tindakan terhadap pejabat-pejabat
Negara termasuk hakim yang berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat.
5. Al-Mahkamah Al-Asykariyyah
Selain Hisbah, Al-qadha dan
Al-madzallim, pada masa pemerintahan Bani Abbas juga dientuk mahkamah /
peradilan militer (Al-mahkamah
Al-Asykariyyah) dengan hakimnya adalah qadhi
al-asykar atau qhadi al-jund,
posisi ini sudah ada sejak masa Sultan Salahuddin Yusuf bin Ayyub. Tugasnya adalah
mengadili sidang-sidang di Dar al-A’dl,
terutama ketika persidangan tentang anggota militer / tentara.
Yang dimaksud sebagai pengadilan militer adalah badan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan militer yang meliputi pengadilan
militer, pengadilan militer tinggi, pengadilan militer utama dan pengadilan
militer pertempuran. Pengadilan militer itu mempunyai kedudukan sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkunga angkatan bersenjata untuk menegakkan
hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan
keamanan Negara.
Dalam UUD NO 31 Tahun 1977 masih ditentukan bahwa pembinaan teknis dalam
lingkungan peradilan militer dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan
organisasi dan prosedur, administrasi, finansial badan-badan pengadilan darurat
dilakukan oleh panlima.
Peradilan militer merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman
yang mempunyai kompetensi memeriksa dan menadili perkara-perkara pidana yang
dilakukan oleh seorang yang berstatus sebagai anggota militer.
Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan militer dilakukan oleh:
a)
Mahkamah Militer (Mahmil): Kepala Mahkamah Militer dan Wakil Kepala
Mahkamah Militer; Hakim Militer; Hakim Perwira; Kepala Kepaniteraan; Panitera;
Panitera Pengganti.
b)
Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti): Kepala Mahmilti; Wakil
Mahmilti; Hakim Militer; Hakim Perwira; Kepala Kepaniteraan; Panitera; Panitera
Pengganti.
c)
Mahkamah Militer Agung (Mahmilgung)
Mahkamah Militer bertugas dan berwenang mengadili dalam tingkat pertama
perkara-perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota militer yang
berpangkat kapten kebawah di daerah hukumnya dan termasuk suatu pasukan yang
ada di dalam daerah hukumnya. Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Militer Tinggi
antara lain:
a.
Memutus dalam tingkat pertama
perkara-perkara kejahatan dan pelanggaran oleh anggota perwira militer yang
berpangkat mayor ke atas;
b.
Memeriksa dan memutus dalam
peradilan tingkat ke dua segala perkara yang telah diputus oleh Mahmil dalam
daerah hukumnya yang dimintakan pemeriksaan ulang;
c.
Memeriksa dan memutus dalam
tingkat pertama dan juga terakhir, perselisihan tentang kekuasaan mengadili
antara beberapa Mahmil dalam daerah hukumnya.[4]
BAB III
KESIMPULAN
Kehakiman dalam islam ialah kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin
jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai pelaksanaannya
serta mengadili perkara perselisihan , baik yang menyangkut perkara perdata
maupun pidana.
Lembaga kehakiman terdiri atas :
1.
Qhadi al-qudhad ialah kepala dari
seluruh hakim.
2.
Al-Qadha ialah lembaga yang
bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara
sengketa, perselisihan dan masalah waqaf secara spesifik.
3.
Al-hisbah adalah salah satu badan pelaksana kekuasaan dalam Islam
yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman.
4.
Al-Mazallim adalah salah satu
komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk mengurusi
penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan Negara.
5.
Al-mahkamah Al-Asykariyyah yaitu badan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman dilingkungan peradilan militer yang meliputi pengadilan militer,
pengadilan militer tinggi, pengadilan militer utama dan pengadilan militer
pertempuran.
DAFTAR PUSTAKA
Aripin, Jainal. Peradilan Agama dalam Bingka
Rreformasi Hukum di Indonesia, cet. I,
(Jakarta : kencana, 2008).
[1]
Jaenal Aripin,Peradilan, Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di
Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Kencana 2008), hlm. 146
[2]
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi
Hukum di Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Kencana 2008), hlm 166
[3]
Jaenal Aripin,Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi
Hukum di Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Kencana 2008), hlm 16
[4]
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi
Hukum di Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Kencana 2008), hlm.236
Tidak ada komentar:
Posting Komentar