KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah muqaranah
mazahib fil muamalah “hukum asuransi” ini. Shalawat dan salam kami junjungkan kepangkuan Nabi
Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.
Makalah ini
merupakan tugas kelompok yang harus diselesaikan oleh setiap mahasiswa/i untuk
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam memahami mata kuliah ini.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang selama ini telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan,
baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan makalah
ini, terutama ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membimbing
kami pada mata kuliah ini.
Dalam penyelesaian makalah ini kami menyadari bahwa masih
banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dalam segi bahasa maupun dalam
segi kalimatnya. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan penyelesaian makalah di masa yang akan
datang.
Langsa, April 2011
Kelompok 10
DAFTAR
ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR............................................................................................ 1
DAFTAR
ISI........................................................................................................... 2
BAB
I. PENDAHULUAN...................................................................................... 3
BAB
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian.......................................................................................................... 4
B. Sejarah Asuransi .............................................................................................. 5
C. Perbedaan Asuransi Konvensional Dengan
Takaful..................................... 7
D. Jenis Dan Manfaat Asuransi Syari’ah (Takaful)........................................... 8
E. Asuransi Menurut Pendapat
Ulama................................................................ 9
BAB
III. PENUTUP
Kesimpulan............................................................................................................. 13
Daftar
Pustaka........................................................................................................ 14
BAB I
PENDAHULUAN
Konsep dasar asuransi islam (takaful) di Indonesia tidak
terlepas dari perilaku umat islam dalam memandang lembaga-lemmbaga yang ada
utuk kegiatan mu’amalahnya, dari pengamatan terhadap perkembangan asuransi di
Indonesia tampak bahwa pertumbuhan asuransi maupun rasio pemegang polis
asuransi di bandingkan jumlah penduduk Indonesia masih jauh di bawah kemajuan
yang dicapai Negara lain. Hal ini disebabkan karena dua hal
yaitu: adanya keraguan terhadap asuransi konvensional serta adanya peningkatan
kesadaran dan penalaran beragama.
Dalam konsep agama
islam terdapat suatu terminologi yang membedakan hubungan manusia dengan Tuhan
(hablum minallah) di satu sisi hubungan manusia dengan manusia (hablum minannaas)
dan lingkungan sekitarnya (hablum minal alam) di sisi lainnya.[1]
Hukum yang mengatur hubungan peribadatan adalah bersifat liminatif artinya
tidak dimungkinkan bagi manusia untuk mengembangkannya. Sedangkan hukum yang
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan lingkungan alam di sekitarnya
adalah bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Al-Qur’an hanya memberikan
aturan yang bersifat garis besarnya saja, selebihnya adalah terbuka bagi
mujtahid untuk mengembangkan melalui pemikirannya.
Lapangan kehidupan ekonomi termasuk di dalamnya usaha
perasuransian, digolongkan dalam hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya yang disebut dengan hukum muamalah, oleh karena itu bersifat
terbuka dalam pengembangannya.
Dalam
konteks perusahaan asuransi menurut syariah atau asuransi islam secara umum
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan asuransi konvensional, diantara keduanya
mempunyai persamaan yaitu perusahaan asuransi hanya berfungsi sebagai
fasilitator hubungan struktural antara peserta penyetor premi (penanggung)
dengan peserta penerima pembayaran klaim (tertanggung). Secara umum asuransi
islam atau takaful dapat digambarkan sebagai asuransi yang prinsip
operasionalnya didasarkan pada syariat islam dengan mengacu pada Al-Qur’an dan
As-Sunah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Dalam
bahasa arab, asuransi dikenal dengan istilah At-Ta’min, penanggung disebut Mu’ammin,
tertanggung disebut Mu’amman lahu atau
Musta’min.At-Ta’min diambil dari amana
yang artinya memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa
takut, seperti tersebut dalam Q.S.Quraisy:4 “Yang Telah memberi makanan kepada
mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”. Pengertian
At-Ta’min adalah seseorang membayar/menyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau
ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau
untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang.
Ahli
fiqh kontemporer Wahbah Az-Zuhaili mendefinisikan asuransi berdasarkan
pembagiannya. Ia membagi asuransi dalam dua bentuk, yaitu:
1.
At-Ta’min
At-Ta’awuni (asuransi tolong-menolong) adalah
kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uangsebagai ganti rugi
ketika salah seorang di antara mereka mendapat kemudaratan.
2.
At-Ta’min
Bi Qist Sabit (asuransi dengan pembagian tetap) adalah
akad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang
terdiri atas beberapa saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapat
kecelakaan, ia diberi ganti rugi.[2]
Musthafa
Ahmad Az-Zarqa memaknai asuransi adalah sebagai suatu cara atau metode untuk
memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang
akan terjadi dalam hidupnya dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam
aktifitas ekonominya.[3]
Muhammad
Syakir Sula mengartikan takaful dalam arti mu’amalah adalah saling memikul
resiko di antara sesama orang sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi
penanggung atas resiko yang lainnya. Dalam fatwa dewn syariah nasional DSN
No.21/DSN-MUI/X/2001 bagia pertama mengenai ketentuan umum angka 1, disebutkan
pengertian asuransi syariah (ta’min, takaful atau tadhamun) adalah usaha saling
melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi
dalam entuk asset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.[4]
Menurut Undang-Undang No.2 Tahun
1992 Pasal 1 :
“Asuransi atau pertanggungan adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak Penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
Pada hakikatnya asuransi adalah suatu
perjanjian antara nasabah asuransi (tertanggung) dengan perusahaan asuransi
(penanggung) mengenai pengalihan resiko dari nasabah kepada perusahaan
asuransi.
Kata asuransi
berasal dari bahasa belanda “assurantie”
yang dalam hukum belanda disebut Verzekering
yang artinya pertanggungan. Dari peristilahan assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung, dan geassureerde
bagi tertanggung.
Menurut Robert
I. Mehr, “asuransi adalah suatu alat untuk mengurangi resiko dengan
menggabungkan sejumlah unit-unit yang beresiko agar kerugian individu secara
kolektif dapat diprediksi. Kerugian yang dapat diprediksi tersebut kemudian
dibagi dan didistribusikan secara proporsional di antara semua unit-unit dalam
gabungan tersebut.”[5]
B.
Sejarah
Asuransi
Dalam
islam praktik asuransi pernah dilakukan pada masa Nabi Yusuf as. Yaitu pada
saat ia menafsirkan mimpi dari raja firaun, tafsiran yang disampaikan adalah
bahwa mesir akan mengalami masa 7 panen yang melimpah dan diikuti dengan masa 7
tahun paceklik. Untuk menghadapi masa paceklik itu , Nabi Yusuf as. menyarankan
agar menyisihkan sebagian dari hasil panen pada masa tujuh pertama, saran itu
diikuti oleh raja firaun sehingga masa paceklik bias ditangani dengan baik. Praktek
aqilah ini pada dasarnya sama dengan
praktek asuransi pada saat ini di mana sekelompok orang membantu untuk
menanggung orang lain yang tertimpa musibah.
Bisnis asuransi masuk ke Indonesia
pada waktu penjajahan Belanda dan negara kita pada waktu itu disebut Nederlands
Indie. Keberadaan asuransi di negeri kita ini sebagai akibat berhasilnya Bangsa
Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya. Untuk
menjamin kelangsungan usahanya, maka adanya asuransi mutlak diperlukan. Dengan
demikian usaha perasuransian di Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun waktu,
yakni zaman penjajahan sampai tahun 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau
zaman kemerdekaan. Pada waktu pendudukan bala tentara Jepang selama kurang
lebih tiga setengah tahun, hampir tidak mencatat sejarah perkembangan.
Perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di Hindia Belanda pada zaman penjajahan
itu adalah :
ü Perusahaan-perusahaan yang didirikan
oleh orang Belanda.
ü Perusahaan-perusahaan yang merupakan
Kantor Cabang dari Perusahaan Asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris
dan di negeri lainnya.[6]
Jenis asuransi yang telah
diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu masih sangat terbatas dan
sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan pengangkutan. Asuransi
kendaraan bermotor masih belum memegang peran, karena jumlah kendaraan bermotor
masih sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh Bangsa Belanda dan Bangsa Asing
lainnya. Pada zaman penjajahan tidak tercatat adanya perusahaan asuransi kerugian
satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan perasuransian di Indonesia
praktis terhenti, terutama karena ditutupnya pemsahaan- perusahaan asuransi
milik Belanda dan Inggris
Di
dalam asuransi islam/takaful terdapat prinsip-prinsip dasar yaitu:
ü Saling
bertanggung jawab.
ü Saling
bekerja sama untuk bantu membantu.
ü Saling
melindungi dari segala kesusahan.
Prosedur asuransi islam untuk menjamin nasabah dari
kekhawatiranyang timbul akibat ancaman
marabahaya yang menghadang manusia berlandaskan pada sejumlah asas yaitu
sebagai berikut:
ü
Asas keimanan
ü
Asas solidaritas kolektif sesuai dengan prinsip Ukhuwwah (persaudaraan)
ü
Asas bakti sosial secara institusional
ü
Asas investasi dan menabung untuk cadangan bencana
ü
Asas-asas lain dari aplikasi sistem asuransi kontemporer
yang sesuai dengan syari’at islam.[7]
C. Perbedaan Asuransi
Konvensional Dengan Takaful
1. Asuransi
konvensional
ü Tidak
ada dewan khusus yang mengawasi produk yang dipasarkan dan investasi dana.
ü Prinsip
asuransi kovensional adalah jual beli.
ü Dana
yang terkumpul diinvestasikan berdasarkan sistem bunga.
ü Dana
yang terkumpul dari nasabah menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan bebas
menentukan investasinya.
ü Untuk
kepentingan pembayaran klaim nasabah diambil dari rekening dana perusahaan.
ü Keuntungan
yang diperoleh seluruhnya menjadi milik perusahaan.
2. Asuransi
Syari’ah (Takaful)
ü Terdapat
dewan pengawas syari’ah yang mengawasi produk yang dipasarkan dan investasi
dana.
ü Prinsip
akad asuransi syari’ah adalah tolong-menolong.
ü Investasi
dana berdasarkan syari’ah dengan sistem bagi hasil (mudharabah).
ü Dana
yang terkumpul dari nasabah merupakan milik peserta, perusahan hanya sebagai
pemegang amanah untuk mengelola.
ü Untuk
pembayaran klaim nasabah diambil dari rekening tabarru’ (dana keajikan) seluruh
peserta yang sejak awal sudah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan
tolong-menolong bila terjadi musibah.
ü Keuntungan
yang diperoleh dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai dengan prinsip
bagi hasil.
D. Jenis Dan Manfaat
Asuransi Syari’ah (Takaful)
1.
Jenis
Asuransi Syari’ah
Sebagaimana telah diatur dalam UU
No.2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian, maka asuransi takaful terdiri atas
dua jenis, yaitu:
ü Takaful
keluarga (asuransi jiwa), ialah bentuk
asuransi syari’ah yang memberikan perlindungan dalam menghadapi musibah
kematian dan kecelakaan atas diri peserta asuransi.
ü Takaful
umum (asuransi kerugian) ialah bentuk asuransi syari’ah yang memberikan
perlindungan financial dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta
benda milik peserta, seperti rumah, kendaraan dan sebagainya.
2. Manfaat Asuransi
Syari’ah
a.
Takaful
Keluarga
Pada
takaful keluarga ada tiga manfaat yang diterima oleh peserta, yaitu klaim akan
dibayarkan kepada peserta apabila:
ü Peserta
meninggal dunia dalam masa pertanggungan (sebelum jatuh tempo), dalam hal ini
maka ahli warisnya akan menerima:
ü Pembayaran
klaim sebesar jumlah angsuran premi yang telah disetorkan dalam rekening
peserta ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil investasi.
ü Sisa
saldo angsuran premi yang seharusnya dilunasi dihitungdari tanggal meninggalnya
sampai dengan saat selesai masa pertanggungannya. Dana untuk dimaksud ini
diambil dari rekening khusus/tabarru’ para peserta yang memang telah
disediakan.
Peserta
masih hidup sampai pada masa selesainya masa pertanggungan. Peserta akan
menerima:
ü Seluruh
angsuran premi yang telah disetorkan kedalam rekening peserta, ditambah dengan
bagian keuntungan dari hasil investasi.
ü Kelebihan
dari rekening tabarru’ peserta apabila setelah dikurangi biaya operasional
perusahaan dan pembayaran klaim masih ada kelebihan.
ü Peserta
mengundurkan diri sebelum masa pertanggungan selesai, maka pesera yang
bersangkutan tetap akan menerima seluruh angsuran premi yang telah disetor ke
rekening peserta ditambah hasil keuntungan investasi.
b. Takaful Umum
Klaim
takaful akan dibayarkan kepada peserta yang mengalami musibah yang menimbulkan
kerugian harta bendanya sesuai dengan perhitungan kerugian yang wajar,
sedangkan dana tersebut diambil dari kumpulan pembayaran premi peserta.
Secara umum manfaatnya adalah :
ü Memberikan jaminan perlindungan dari
resiko-resiko kerugian yang diderita satu pihak.
ü Meningkatkan efisiensi, karena tidak
perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan
perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu dan biaya.
ü Transfer Resiko; Dengan membayar
premi yang relatif kecil, seseorang atau perusahaan dapat memindahkan
ketidakpastian atas hidup dan harta bendanya (resiko) ke perusahaan asuransi
ü Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya
dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu dan tidak perlu
mengganti/membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tentu dan
tidak pasti.
ü Dasar bagi pihak bank untuk
memberikan kredit karena bank memerlukan jaminan perlindungan atas agunan yang
diberikan oleh peminjam uang.
ü Sebagai tabungan, karena jumlah yang
dibayar kepada pihak asuransi akan dikembalikan dalam jumlah yang lebih besar.
Hal ini khusus berlaku untuk asuransi jiwa.
ü Menutup Loss of Earning Power
seseorang atau badan usaha.[8]
E. Asuransi Menurut Pendapat Ulama
1. Ulama Yang Mengharamkan
Syaikh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi;
Dalam kitabnya yang terkenal, Hasyiyah ibnu ’Abidin, bab Al-Jihad,
pasal Isti’man al-kafir, ia menulis,
“telah menjadi kebiasaan bila para pedagang menyewa kapal dari seorang Harby, mereka membayar upah
pengangkutannya. Disamping itu, ia membayar juga sejumlah uang untuk seorang Harby yang berada di negeri asal penyewa
kapal, yang disebut sebagai Sukarah
‘premi asuransi’ dengan ketentuan bahwa barang-barang pemakai kapal yang berada
di kapal yang disewa itu, bila musnah karena kebakaran, kapal tenggelam,
dibajak dan sebagainya, maka penerima uang premi asuransi itu menjadi
penanggung, sebagai imbalan dari uang yang diambil dari para pedagang itu.
Kemudian ia mengatakan, “yang jelas menurut saya, tidak
boleh (tidak halal) bagi si pedagang itu mengambil uang pengganti dari
barang-barangnya yang telah musnah, karena yang demikian itu iltizamu ma lam yalzam “mewajibkan
sesuatu yang tidak lazim/wajib”
Prof.Dr. Wahbah Az-Zuhaili;
Dalam kitab fiqihnya “Al-Islami
Wa ‘Adillatuhu” halaman 455-459 mengatakan bahwa pada hakikatnya akad
asuransi termasuk dalam ‘aqd gharar
yaitu akad yang tidak jelas tentang ada tidaknya sesuatu yang diakadkan.
Padahal Nabi Muhammad saw.melarang jual beli gharar. Jika diqiyaskan kepadanya akad pertukaran harta, maka akad
asuransi memberi kesan gharar seperti kesan gharar yang terdapat dalam akad
jual beli.
Ahli syari’ah memasukkannya dalam kelompok akad gharar
karena akad asuransi itu adalah untuk kejadian yang akan datang yang belum
pasti berlaku dan tidak diketahui terjadinya, karenanya gharar melekat dan
menyatu dalam praktik dan akad asuransi. Oleh karena itu Az-Zuhaili berpendapat
bahwa “tidak halal (haram) bagi seorang pedagang dan bagi seorang mukmin
mengambil ganti rugi dari harta yang diberikan oleh perusahaan asuransi. Karena
hal itu merupakan harta yang tidak perlu bagi orang yang memerlukannya, karena
merupakan jaminan yang cacat dan batal menurut ukuran syara’.”[9]
2. Ulama Yang Membolehkan
Syaikh Abdur Rahman Isa;
Menurutnya perjanjian asuransi adalah sama dengan
perjanjian Al-Ji’alah “memberi janji
upah”. Ia berkata bahwa asuransi mewajibkan dirinya untuk membayar sejumlah
uang ganti kerugian, apabila pihak lain mengerjakan sesuatu untuknya, ialah
membayar uang premi dengan peraturan tertentu. Maka, apabila seseorang telah
mengerjakan perbuatan ini, behaklah ia atas sejumlah uang pengganti kerugian
yang dijanjikan oleh perusahaan tersebut.
Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa;
Ia mengatakan bahwa asuransi bagaimanapun bentuknya merupakan
koperasi yang menguntungkan masyarakat. Asuransi jiwa menguntungkan nasabah
sebagaimana halnya menguntungkan perusahaan yang mengelola asuransi. Ia
mengemukakan pandangan bahwa sepanjang dilakukan bersih dari riba, maka
asuransi hukumnya boleh. Dengan pengertian, apabila nasabah masih hidup menurut
jangka waktu yang ditentukan dalam polis, maka apabila dia meminta pembayaran
kembali, hanya sebesar premi yang pernah dibayarkan tanpa ada tambahan.[10]
3. Fatwa-fatwa Kontemporer
Pertama, Tidak dibolehkan mengikuti asuransi pada perusahaan yang
tidak islami setelah semakin banyaknya perusahaan asuransi islam dan perusahan reinsurance islami yang sudah dibuka
dewasa ini. Karena umat tidak lagi berkepentingan untuk mengasuransikan usaha
mereka kepada perusahaan asuransi konvensional atau dengan kata lain hilang
sudah keadaan darurat atau kebutuhan mendesak untuk umat bergabung dengan
perusahaan asuransi yang tidak islami. (sumber
fatwa: seminar“al-baraqah” VII–fatwa no.3 )
Kedua, Bentuk policy
uncoorperative asuransi jiwa dengan cicilan tetap yang ada pada saat ini,
termasuk dalam jenis “akad spekulatif” (al-uqud al-ihtimaliyah) yang mengandung
unsur judi dan taruhan spekulatif. Akad cacat (fasid) jenis ini tidak
dibenarkan. Sesuai dengan hadis nabi “orang
muslim berhak menentukan sendiri syarat-syarat tertentu dalam berinteraksi,
kecuali syarat yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang
halal”(H.R. Tirmidzi)
Seorang muslim tidak dibenarkan menjalankan transaksi
atas dasar akad perjanjian yang rusak ataupun cacat, karena setiap penghasilan
yang didapat dari jalan yang tidak baik (kotor) adalah haram. (sumber fatwa: syekh jadil haq ali jadil haq
– syaikh besar Al-Azhar University – majalah Al-Iqtishad Al-Islami, edisi 171)
Ketiga, Pembayaran wajib asuransi kecelakaan kendaraan untuk
tujuan mendapatkan SIM adalah sistem asuransi yang dibenarkan atau dibolehkan
syari’ah. Begitu juga syari’ah membolehkan sistem asuransi sosial kecelakaan
kerja yang banyak dianut sebagian negara. (sumber
fatwa: Al-Fatawa Asy-Syar’iyah Fi Masa’il Al-Iqtishadiyah, fatwa-fatwa syari’ah
dalam permasalahan ekonomi, fatwa no 273) [11]
Para ulama dan fuqaha (ahli fiqh), dalam menetapkan hukum
menyangkut masalah-masalah syari’ah, selalu mendasarkan ketetapannya dengan
suatu prinsip pokok bahwa “segala sesuatu
asalnya mubah (boleh)”.[12]
Ketetapa ini didasarkan pada dalil syar’i dalam Al-Qur’an dan hadis nabi saw.
t¤yur /ä3s9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# $YèÏHsd çm÷ZÏiB 4 ¨bÎ) Îû Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 crã©3xÿtGt ÇÊÌÈ
“Dan
dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.”
Sabda Nabi Muhammad saw. yang artinya:
“Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabnya, maka dia
adalah halal; dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram.
Sedangkan, apa yang Ia diamkan, maka dia itu dibolehkan (ma’fu). Oleh karena
itu, terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal
lupa sedikit pun.” Kemudian Rasulullah membaca ayat, “dan Tuhanmu tidak
lupa.....”.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam
bahasa arab, asuransi dikenal dengan istilah At-Ta’min, penanggung disebut Mu’ammin,
tertanggung disebut Mu’amman lahu atau
Musta’min.At-Ta’min diambil dari amana
yang artinya memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa
takut. prinsip-prinsip dasar dari
asuransi islam/takaful yaitu:
ü Saling
bertanggung jawab.
ü Saling
bekerja sama untuk bantu membantu.
ü Saling
melindungi dari segala kesusahan.
Menurut
Wahbah Az-Zuhaili asuransi ada dua bentuk, yaitu:
1.
At-Ta’min
At-Ta’awuni (asuransi tolong-menolong) adalah
kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uangsebagai ganti rugi ketika
salah seorang di antara mereka mendapat kemudaratan.
2.
At-Ta’min
Bi Qist Sabit (asuransi dengan pembagian tetap) adalah
akad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi
yang terdiri atas beberapa saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi
mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi.
Di dalam asuransi islam/takaful terdapat asas-asas yaitu
sebagai berikut:
ü
Asas keimanan
ü
Asas solidaritas kolektif sesuai dengan prinsip Ukhuwwah (persaudaraan)
ü
Asas bakti sosial secara institusional
ü
Asas investasi dan menabung untuk cadangan bencana
ü
Asas-asas lain dari aplikasi sistem asuransi kontemporer
yang sesuai dengan syari’at islam
DAFTAR PUSTAKA
Gemala Dewi, aspek-aspek hukum dalam perbankan dan perasuransian syari’ah di
Indonesia, (Jakarta:kencana prenada media group, 2007).
Wirdyaningsih,et al., bank asuransi islam di Indonesia,
(Jakarta:kencana prenada media, 2007).
Husain Husain syahatah, asuransi dalam perspektif islam, (Jakarta:Amzah,2006).
Muhammad
Syakir Sula, asuransi syari’ah (life and
general) konsep dan sistem operasional, (Jakarta:gema insani press,2004).
Warkum
sumitro, asas-asas perbankan islam dan lembaga-lembaga terkait (BAMUI, takaful
dan pasar modal syari’ah) di indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2004).
http://balianzahab.wordpress.com,
makalah-hukum/hukum-asuransi, diakses tgl: 31-3-2011, 2.47pm.
[1] Gemala
Dewi, aspek-aspek hukum dalam perbankan
dan perasuransian syariah di Indonesia, cet.4, (Jakarta:kencana prenada
media group, 2007), hal.135.
[2] Wirdyaningsih,
et al., Bank Dan Asuransi Islam Di
Indonesia, cet.3, (Jakarta:kencana prenada media, 2007), hal. 177.
[3]Ibid, hal.177.
[4]
Wirdyaningsih, et al., Bank Dan Asuransi
Islam Di Indonesia,…. hal. 178-179.
[5] Muhammad
Syakir Sula, asuransi syari’ah (life and
general) konsep dan sistem operasional, cet 1, (Jakarta:gema insani
press,2004), hal.26.
[6] http://balianzahab.wordpress.com,
makalah-hukum/hukum-asuransi, diakses tgl: 31-3-2011, 2.47pm
[7]
Husain Husain syahatah, asuransi dalam perspektif islam, cet.1, (Jakarta:Amzah,2006), hal.52-61.
[9] Muhammad
Syakir Sula, asuransi syari’ah (life and
general) konsep dan sistem operasional, cet 1, (Jakarta:gema insani
press,2004) hal.58-63.
[10] Muhammad
Syakir Sula, asuransi syari’ah (life and
general) konsep dan sistem operasional, cet 1, (Jakarta:gema insani
press,2004) hal.71-72
[12] Muhammad
Syakir Sula, asuransi syari’ah (life and
general) konsep dan sistem operasional, cet 1, (Jakarta:gema insani
press,2004), hal.1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar