TEORISASI DALAM PENELITIAN KUALITATIF
A.
PENDAHULUAN
Sebagaimana stereotip teoritis dalam
penelitian kuantitatif, terkadang ketika suatu masalah kualitatif harus
dipecahkan, peneliti cenderung dipengaruhi oleh stereotip teoritis kuantitatif
dengan menggunakan teori untuk
menjawabnya. Pada prinsipnya penelitian kualitatif menggunakan
pendekatan induktif, dengan demikian teori sesungguhnya adalah alat yang akan
diuji kemudian dengan data dan instrumen penelitinya.
Stereotip ini dipengaruhi oleh salah satu
tipe penelitian kualitatif, yaitu deskriptif
kualitatif di mana sesungguhnya tipe penelitian kualitatif ini belum
benar-benar kualitatif, hal ini dikarenakan meski mengandalkan
analisis-analisis kualitatif yang akurat dan handal, namun pengaruh berpikir
kuatitatif masih kuat dan mengakar dalam melakukan penelitian kualitatif ini.
Didalam sejarah penelitian kualitatif,
pendekatan kualitatif deskriptif sendiri tidak sepenuhnya mengakar pada
penelitian kualitatif namun hanya kebiasaan dan pengaruh antara pandangan
kuantitatif dan kualitatif sajalah yang
akhirnya melahirkan tipe penelitian kualitatif deskriptif tersebut
sehingga penelitian kualitatif deskriptif lebih tepat disebut sebagai quasi
kualitatif.
Agar penelitian kualitatif deskriptif
dapat diterima sebagai salah satu tipe penelitian kualitatif, maka para
peneliti kualitatif lebih memilih mendekati makna dan ketajaman analisis dan
logis dan juga dengan cara menjauhi statistik. Di dalam melakukan penelitian
kualitatif para peneliti menggunakan beberapa model penelitian yaitu ;
Penelitian model deduksi dan model induksi.
B.
TEORISASI DALAM PENELITIAN
KUALITATIF
1.
Teorisasi Deduktif
Teorisasi dengan model deduktif tak asing
lagi dalam penelitian sosial, di mana teorisasi dilakukan secara deduktif. Model
umum teorisasi deduktif seperti yang umumnya dilakukan di berbagai penelitian
kuantitatif dan masih mempengaruhi format kualitatif deskriptif, karena
merupakan teorisasi yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif.
Pandangan deduktif menuntut peneliti terlebih
dahulu menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk
membangun hipotesis sehingga peneliti secara tidak langsungakan menggunakan
teori dalam melihat masalah penelitian. Di dalam penlitian kualitatif hipotesis
tidak pernah diuji dengan teknik analisis data, akan tetapi dapat digunakan saat
pengumpulan data di lapangan. Teorisasi deduktif pada umumnya diakhiri dengan
pembahasan tentang teori tersebut diterima, meragukan, dan membantah / menolak.
2.
Teorisasi Induktif
Terdapat dua pendapat yang berbeda pada
model induksi, yakni; Pertama, mengatakan
bahwa peneliti harus memfokus perhatiannya pada data di lapangan sehigga segala
sesuatu tentang teori yang berhubungan dengan penelitian menjadi tak penting. Kedua, bahwa pemahaman terhadap teori
bukan sesuatu yang haram, namun data tetap menjadi fokus peneliti di lapangan.[1]
Perbedaan utama antara metode deduktif
dengan metode induksi ialah cara pandang terhadap teori, di mana teorisasi
deduktif menggunakan teori sebagai pijakan awal dalam melakukan teorisasi,
sedangkan teorisasi induktif menggunakan data sebagai pijakan awal melakukan
penelitian, bahkan dalam format induktif teorisasi bukan hal yang penting untuk
dilakukan.
Pada model induktif, penelitian sering
kali dimulai dari titik nol yaitu pada titik di mana suatu fenomena itu belum
terungkapkan dalm berbagai teori dan fenomena sosial yang terbaca. Model ini
disamping memiliki ketiga kemampuan pada model deduktif, yaitu;
ü menerima
ü meragukan/mengkritik,
dan
ü membantah, serta
memiliki kemampuan
ü membangun sebuah
teori baru yang sebelumnya belum pernah ada.[2]
C.
SISTIMATIKA TEORI
Banyaknya fenomena sosial, maka ilmu
sosial juga berkembangbegitu kompleks dan begitu rumit akan tetapi apabila
disusun strukturnya, maka dalam ilmu sosial selin paradigma dikenal pula
struktur ilmu sosial, seperti rumpun teori yang dapat dikelompokkan ke dalam grand theory, middle theory, dan application theory.
Kunci kendali memilih teori dalam
penelitian adalah selain memahami konteks formal dan material sebuah teori, juga
dituntut memahami teori itu baik pada konteks sejarah maupun konteks sosial di
mana teori itu dilahirkan. Sehingga apabila teori itu digunakan, peneliti akan
memahami struktur masing-masing teori itu bahkan mampu menyusun sebuah skema
perkembangan teori dari masa lalu sampai pada konteks di mana seseorang
melakukan penelitian.
Ketika sebuah masalah penelitian telah
ditemukan, maka peneliti mencoba membahas masalah penelitian tersebut dengan
teori yang dipilihnya sebagaimana struktur teori yang dianggap mampu menjawab
masalah penelitian. Pada akhirnya metode bekerja untuk menghasilkan teori yang
paling lemah yaitu proposisi, proposisi apabila dikembangkan dan dikaji
berulang-ulang akan menjadi konsep, konsep yang telah diuji dan diterima akan
menjadi variabel dan seterusnya akan menjadi ilmu bahkan disiplin ilmu dan
seterusnya akan menjadi paradigma yang pada tahap berikutnya mempengaruhi teori
dan metode kembali.
D.
RAGAM TEORI DAN TEORISASI
DALAM PENELITTIAN
Secara umum
teori-teori sosial bergerak sekitar empat tingkatan realitas baik yang bersifat
makro maupun mikro, yaitu realitas tingkat makro objektif, makro subjektif,
mikro objektif, dan mikro subjektif, perbedaan tingkat realitas hanya merupakan
kebutuhan analisis. Jika konsentrasinya berporos pasa pola-pola umum kehidupan
sosial, maka termasuk realitas tingkat makro. Tapi jika perhatian ditujukan
pada tindakan individual, maka ia termasuk bersifat mikro.
Menurut Parsons,
seorang individu tak mungkin lepas dari ikatan struktur sosial di mana ia
berada, namun seorang individu memiliki kemampuan untuk memilih berbagai
alternatif tindakan secara aktif, kreatif, dan evaluatif yang memungkinkan
tercapainya tujuan khas yang diinginkan.
Parsons dengan sadar
memakai konsep ”action” , dan bukan ”behavior” dalam menyebut teorinya.
Sebab menurut parsons, konotasi behavior mengandaikan
adanya kesesuaian secara mekanik antara Stimulus dengan Respons, sedangkan action menunjuk pada suatu aktivitas
yang dilakukan secara kreatif lewat proses penghayatan diri individu yang penuh
makna.
Dalam konteks sistem
sosial, seseorang selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan tindakan menurut pola
tertentu, pola itu oleh Parsons disebut pattern
variables.ada lima hal yang diajukan Parsons sebagai pattern variables itu:
ü Affective vs. Affective
Neutrality.
ü
Self-orientation vs.
Collective Orientation.
ü
Universalism vs.
Particularism.
ü
Quality vs.Performance.
ü
Specificity vs. Diffusness.[3]
Analog dengan skema
dasar teori aksi tersebut dapat dikatakan bahwa tindakan seseorang terkait
dengan beberapa variabel, yaitu: Variabel nilai dan norma, Variabel tujuan, Variabel
sumber daya.
Menurut Weber, hidup
manusia dan segala tindak-tanduknya sesungguhnya ditandai suatu upaya pencarian
makna, baik disadari maupun tidak. Ia mengusulkan lima hal pokok yang mesti
dikaji dalam melakukan studi tentang tindakan sosial, yakni:
ü Tiap tindakan manusia
yang menurut pelaku mempunyai makna yang subjektif dan bermanfaat.
ü Tindakan nyata
bersifat membatin dengan maksud tertentu dari pelaku.
ü Tindakan yang
berkaitan dengan pengaruh positif dengan situasi dan kondisi tertentu.
ü Tindakan tersebut
diarahkan kepada orang lain dan bukan pada barang mati.
ü Tindakan itu
dilakukan dengan memerhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain
tersebut.[4]
E.
ALIRAN TEORI YANG MENDASARI
TEORISASI DALAM PENELITIAN.
Ada empat aliran
teori dalam ilmu sosial yang lazim diasosiasikan dengan pendekatan penelitian
kualitatif, yaitu:
1) Teori-teori tentang budaya, dapat disederhanakan menjadi dua
kelompok, yaitu: Pertama, aliran teori
yang memandang budaya sebagai suatu sistem atau organisasi makna. Kedua, aliran teori yang memandang budaya
sebagai sistem adaptasi suatu kelompok masyarakat terhadap lingkungannya.
2)
Teori fenomenologi, pada dasarnya
berpandangan bahwa apa yang tampak di permukaan, termasuk pola prilaku manusia
sehari-hari hanyalah suatu gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di
”kepala” sang pelaku.
3)
Teori etnomenologi, pada dasarnya relaif serupa dengan aliran
fenomenologi karena kehadirannya diilhami oleh fenomenologi.
4)
Teori interaksionisme, teori ini memiliki tiga premis utama,
yakni: Pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu (benda, orang, atau
ide) atas dasar makna yang diberikan kepada sesuatu itu. Kedua, makna tentang
sesuatu itu diperoleh, dibentuk, termasuk direvisi melalui proses interaksi
dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, pemaknaan terhadap sesuatu
dalam bertindak atau berinteraksi tidaklah berlangsung mekanisme, melainkan
melibatkan proses interpretasi.
KESIMPULAN
Teorisasi dalma penelitian kualitatif ada
dua yaitu teori penelitian deduktif dan teori penelitian induktif. Teorisasi
deduktif pada umumnya diakhiri dengan pembahasan tentang teori tersebut
diterima, meragukan, dan membantah / menolak, sedangkan penelitian induktif,
selain memiliki ketiga kemampuan pada
model deduktif, yaitu; menerima, meragukan/mengkritik, dan membantah, serta
metode induktif ini juga memiliki kemampuan berupa membangun sebuah teori baru
yang sebelumnya belum pernah ada.
.Ada lima hal yang diajukan Parsons sebagai pattern variables itu:
ü Affective vs.
Affective Neutrality.
ü
Self-orientation vs.
Collective Orientation.
ü
Universalism vs.
Particularism.
ü
Quality vs.Performance.
ü
Specificity vs. Diffusness.
Didalam pendekatan penelitian kualitatif terdapat
empat aliran teori yaitu:
ü Teori-teori tentang
budaya
ü Teori fenomenologi
ü Teori etnomenologi
ü Teori interaksionisme
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, M. Burhan, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, Dan Ilmu Sosial Lainnya, Cet III, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009
[1] M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Dan Ilmu
Sosial Lainnya, Cet III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal.
24-25.
[2] Ibid, hal. 28
[3] M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, Dan Ilmu Sosial Lainnya, Cet III, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009), hal. 38
[4] Ibid, hal. 37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar